Perang Padri (1821-1838)


Perang Padri

Perang Padri (1821-1838) - Perang melawan kolonialisme  di  daerah Minangkabau bermula  dari pertentangan antara dua pihak dalam masyarakat, dan sering dinamakan gerakan Padri yang mulai pada awal abad ke-19. Tujuannya  adalah untuk memurnikan ajaran agama Islam, membasmi adat dan kebiasaan yang bertentangan dengan Al Qur’an dan Sunnah Nabi. 

Wilayah Minangkabau mempunyai seorang raja yang berkedudukan di Pagaruyung. Raja dibantu oleh empat orang pembantu yang disebut Basa Ampek Balai. Mereka adalah Bandaro di Sungai Tarab yang mengurus persoalan adat, Tuan Kadi di Padang Gantiang yang mengurus masalah-masalah agama, Makhudum di Sumaniak yang mengurus persoalan pertahanan dan keamanan dan Indomo di Saruaso yang bertugas`menjadi penasehat raja. Raja tetap dihormati sebagai lambang negara Minangkabau,akan tetapi tidak mempunyai kekuasaan.

Penduduk Minangkabau hidup bersuku-suku. Tiap suku dipimpin oleh seorang penghulu. Pada hakekatnya kekuasaan terletak ditangan para penghulu yang tergabung dalam Dewan Penghulu atau Dewan Nagari. Raja, bangsawan dan para penghulu inilah yang menjalankan peranan penting dalam pemerintahan adat.
Perkembangan yang kemudian tampak di Minangkabau adalah timbulnya kebiasaan-kebiasaan buruk, sedang para pembesar tak mampu menghalangi, bahkan turut menjalankan kebiasaan-kebiasaan buruk tersebut, yaitu menyabung ayam, madat, berjudi dan minum minuman keras. Kebiasaan ini makin meluas dan mempengaruhi kelompok pemudanya. Apabila diadakan acara menyabung ayam, mereka datang berduyun-duyun dari berbagai tempat.  

Menghadapi keadaan ini kaum ulama atau Padri mulai mengadakan reaksi, sehingga gerakannya lalu dikenal dengan gerakan Padri. Kaum Padri ingin memperbaiki keadaan masyarakat dengan cara mengembalikan pada ajaran Islam yang murni. Sejak itu timbul bibit-bibit pertentangan antara  Kaum Padri dan Kaum Adat. Upaya  pemurnian ajaran Islam berawal dari adanya upaya melakukan pembaharuan yang dilakukan oleh Tuanku Koto Tuo dari Ampek Angkek Agam. Ia mempunyai seorang murid yang bernama Tuanku Nan Renceh. Pembaharuan yang dilakukan itu mendapat dukungan dari tiga orang ulama yang baru kembali dari Mekah menunaikan ibadah haji pada  tahun 1803. Ketiga orang tersebut menyaksikan secara langsung  bagaimana kaum Wahabbi di Mekah meluruskan agama dan membasmi bid’ah, sehingga mereka ingin meluruskan pula agama di negerinya Ketiga orang haji tersebut adalah Haji Miskin, Haji Sumanik, dan Haji Piobang.

Pembaharuan yang dilakukan para ulama tersebut mendapat tantangan keras dari kaum Adat. Ketika Haji Miskin melarang dilaksanakan menyabung ayam, kaum Adat tidak memperdulikan. Haji Miskin lalu membakar tempat menyabung ayam tersebut.  Kaum  adat menjadi marah. Sejak itu konfik antara kaum Padri dan kaum Adat berlangsung dengan kerasnya. Konfik- konfik yang terjadi antara kaum Padri dan
kaum Adat itu pada akhirnya menimbulkan perang saudara di ranah Minangkabau.

Perang saudara ini meluas terus dan kemudian mengalami  perkembangan baru setelah kekuasaan asing mulai campur tangan. Pada tanggal 10 Februari 1821,  Residen Du Puy  beserta Tuanku Suruaso dan 14 Penghulu yang mewakili Minangkabau mengadakan perjanjian. Dengan dasar perjanjian ini maka beberapa daerah di Minangkabau diduduki Belanda. Langkah Belanda tidak semata-mata ditujukan untuk melawan kaum Padri, akan tetapi lebih banyak ditujukan untuk menanamkan kekuasaannya.

Pada tanggal 18 Pebruari 1821 Belanda menduduki Simawang dengan membawa dua meriam dan seratus orang tentara. Sejak itu dimulailah perang Padri melawan Belanda. Peranan kaum Adat sebagai musuh utama kaum Padri digantikan oleh Belanda. Kaum Padri menghadapi Belanda yang mempunyai sistem persenjataan modern dan personel yang terlatih.  

Peperangan itu dibagi dalam tiga masa. Masa pertama berlangsung antara 1821-1825, ditandai dengan meluasnya per lawanan rakyat ke seluruh daerah Minangkabau. Masa kedua adalah antara tahun 1825-1830, ditandai dengan meredanya pertempuran karena Belanda berhasil mengadakan perjanjian dengan gerakan kaum Padri yang mulai melemah. Ketika itu pihak Belanda sedang memusatkan perhatiannya pada perang Diponegoro di Jawa. Masa ketiga antara tahun 1830-1838, ditandai dengan perlawanan Padri yang meningkat dan penyerbuan Belanda secara besar-besaran, kemudian diakhiri dengan tertangkapnya pemimpin-pemimpin Padri.

www.awanputih43.blogspot.com

Tidak ada komentar:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...