Kebudayaan Megalithikum



Kebudayaan Megalithikum – Disebut kebudayaan megalithikum karena pada umumnya menghasilkan kebudayaan dalam bentuk monumen yang terbuat dari  batu berukuran besar.  Kebudayaan ini muncul pada akhir neolhitikum, tetapi perkembangannya justru terjadi pada zaman perunggu (kebudayaan Dongson).  Kebudayaan megalithikum ini  bahkan terus berlangsung hingga  saat ini dengan hasil-hasilnya  seperti  arca,  candi dan sebagainya. 

Hasil-hasil dari kebudayaan megalithikum memberikan petunjuk  kepada kita mengenal perkembangan kepercayaan, terutama pemujaan terhadap arwah nenek moyang, yang memang telah mulai nampak pada akhir neolithikum. Berikut ini adalah hasil-hasil budaya megalithikum :

Menhir, tugu dari batu tunggal atau batu tegak, yang berfungsi sebagai  tanda  peringatan (upacara) dan melambangkan arwah nenek moyang, yang didirikan sehingga menjadi benda pemujaan, menhir banyak  ditemukan di Pasemah, Lahat, sungai Talang Koto (Sumatera), Ngada (Flores). Menhir ada yang berdiri dalam satu kelompok. Di Pasemah (Sumatera Selatan) ditemukan menhir berdiri tunggal atau berkelompok  membentuk formasi temu gelang, segi empat atau bujur sangkar. Sering  ditemukan pula bersama-sama dengan bangunan lainnya seperti dolmen,  peti kubur batu atau lainnya.

Dolmen, terutama ditemukan di Bondowoso (Jawa Timur). Dolmen  dipergunakan sebagai peti mayat. Selain sebagai peti mayat dolmen juga dipergunakan semacam meja batu, tempat untuk meletakkan sesaji, ada dolmen yang disangga oleh menhir dan ada pula yang digunakan sebagai penutup keranda atau  sarchopagus ( sarkofagus ) , yang demikian dinamakan dengan  pandhusa . Peti mati tempat penyimpanan mayat yang berbentuk lesung terbuat dari batu utuh yang diberi tutup, di Bali ditemukannya  keranda yang berisi tulang belulang manusia, barang perunggu serta  manik-manik.  

Kubur batu, yang berupa peti mayat yang dipendam di dalam tanah  berbentuk persegi panjang dengan ke empat sisinya dibuat dari lempengan- lempengan batu. Peti batu yang terdiri dari papan-papan batu yang lepas, yaitu dua sisi panjang, dua sisi lebar, lantai batu dan diberi penutup dari batu pula. Ada pula yang di sebut  waruga , yaitu kubur batu yang berbentuk bulat. Kubur batu banyak ditemukan di Kuningan (Jawa Barat), Pasemah (Sumatera), Wonosari (Yogya) dan Cepu (Jawa Tengah). Waruga juga banyak ditemukan di daerah Sulawesi Tengah dan Utara.

Punden berundak, bangunan pemujaan terhadap roh nenek moyang yang  berupa susunan batu bertingkat, banyak ditemukan di Lebak Sibeduk (Banten Selatan), Garut, Kuningan, Sukabumi (Jawa Barat). Dalam  perkembangan selanjutnya, punden berundak merupakan dasar dalam  pembuatan candi, bangunankeagamaan maupun istana.  

Biasanya pada punden berundak ini juga didirikan menhir. Selain itu ditemukan pula hasil budaya megalithikum dalam bentuk patung atau  arca manusia yang menggambarkan wujud nenek moyang atau arca binatang, yang banyak ditemukan di daerah Pasemah (Sumatera).  Sementara di lembah Bada (Sulawesi Tengah) ditemukan patung  manusia (laki-laki dan perempuan).

Sarkofagus paling banyak ditemukan di Bali. Sarkofagus seperti juga  dolmen adalah sebagai peti mayat dari batu. Di dalamnya ditemukan  tulang-tulang manusia bersama dengan bekal kuburnya berupa periuk- periuk, beliung persegi, perhiasan dari perunggu dan besi. Di  Bali, sarchofagus dianggap  sebagai benda keramat. Sarkofagus adalah  peti  mayat dari batu (batu padas) berbentuk seperti lesung yang tertutup.  

Sarkofagus di Bali pada umumya berukuran kecil (antara 80-140 cm) dan ada  pula baberapa yang berukuran besar yaitu lebih dari 2 meter. Para peneliti  sarkofagus adalah antara lain  Callenfels, Heekeren  dan  R.P. Suyono . Akan tetapi di antara para peneliti tersebut baru R.P. Suyono yang berhasil  membuat klasifkasi dan tipologi Sarkofagus-sarkofagus yang ditemukan di  seluruh Bali. Berdasarkan penelitiannya yang dilakukan sejak 1960, dapat dipastikan bahwa sarkofagus di Bali berkembang pada masa orang sudah  mengenal bahan logam, mengingat benda-benda bekal kuburnya yang  terdapat di dalamnya kebanyakan dibuat dari perunggu.

Letak sarkofagus selalu mengarah ke hadapan sebuah gunung. Terutama  di Bali arah gunung atau yang disebut “kaja” merupakan arah yang  memberikan berkah dan di sanalah dianggap tempat bersemayam nenek  moyang dalam kepercayaan Bali asli. Desa-desa yang masih kuat pada  kepercayaan Bali aslinya atau sering disebut sebagai “Bali Aga” adalah Trunyan, Setulung, Sembiran, dan Tenganan. Di Bali Aga tersebut masih  banyak ditemukan bangunan-bangunan megalitik seperti menhir, pelinggih batu, batu berundak.  

Arca megalitik menggambarkan manusia dan binatang. Binatang- binatang yang digambarkan dapat berupa gajah, kerbau, harimau, dan  monyet.  Arca-arca  di daerah Sumatera  Selatan menurut anggapan  Geldern  bersifat “dinamik”  dan “statik”. Bahan batu untuk membuat arca dipilih menurut bentuk-bentuk patung yang akan dipahat,  kemudian bentuk patung yang akan dipahat disesuaikan dengan bentuk  asli batunya.  

Sebagian besar patung yang menggambarkan manusia berbentuk orang  laki-laki dan kepalanya memakai tutup kepala yang menyerupai topi baja,  matanya bulat menonjol dengan dahi yang menjorok, seperti tampang  orang Negroid, memakai hiasan gelang pada tangan dan kalung, serta  membawa pedang pendek yang tampak menyerupai golok lurus atau  belati  yang runcing dan tergantung pada  pinggangnya.  Bagian  kaki  tertutup oleh pembalut kaki. Arca  megalitik banyak ditemukan antara  lain di Sumatera Selatan, Lampung, Jawa Tengah, dan Jawa Timur.

www.awanputih43.blogspot.com

Tidak ada komentar:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...