Perlawanan Patimura 1817



Perlawanan Pattimura 1817
Perlawanan Patimura 1817 - Perlawanan yang dilakukan Patimura terhadap pemerintahan kolonial Belanda disebabkan adanya tuntutan agar pemerintah kolonial Belanda melakukan perbaikan-perbaikan di Maluku Tengah sebagaimana
pernyataan yang dikemukakan pada tanggal 29 Mei 1817.

Sejak VOC menguasai Maluku dalam abad ke 17, timbul permukiman-permukiman baru dengan nama “negeri” di daerah pantai kepulauan Maluku Tengah. Berangsur-angsur muncul suatu struktur sosial di negeri-negeri yang merupakan gabungan antara unsur-unsur dari.sistem budaya lama dengan unsur-unsur baru yang dimasukkan oleh VOC. Masyarakat negeri di pantai kepulauan Ambon-Uliase mendapat hak atas tanah (dati) untuk perkebunan-perkebunan cengkeh, di samping tanah-tanah pusaka-pusaka milik keluarga masing-masing. Hasil cengkeh dari setiap dati dijual pada VOC dengan harga tertemu, sedangkar hasil dari tanah pusaka berupa bahan makanan dipakai oleh keluarga (famili) yang mengerjakannya. Selain itu VOC juga mengembangkan suatu sistem pemerintah desa (negeri) serta system pendidikan desa. Bila para penguasa desa mempunyai ikatan kekerabatan dalam desa (negeri) masing-masing, make para guru desa selalu dipindah-pindahkan dari suatu desa ke desa lainnya.

Sistem perkebunan cengkeh, serta sistem pemerintahan desa, dan sistem pendidikan desa, merupakan unsur-unsur yang mengikat kehidupan penduduk Ambon-Lease dengan serasi. Namun di samping itu terasa pula kepincangan-kepincangan yang ditimbulkan sistem-sistem itu. Ekspedisi hongi yang diorganisir VOC banyak menimbulkan tragedi bagi masyarakat Maluku. Ekspedisi yang terdiri dari kora-kora milik masing-masing negeri di kepulauan Ambon-Uliase, dimaksudkan untuk mengawasi pulau-pulau Seram, Buru dan Manipa, dan lain-lain,  yang dilarang menghasilkan cengkeh. Setiap pohon cengkeh di pulau-pulau tersebut ditebang oleh serdadu-serdadu VOC yang diangkut armada kora-kora tersebut. Selama berlangsungnya ekspedisi itu banyak pemuda-pemuda negeri yang menjadi pendayung kora-kora meninggal karena kekurangan makanan atau dibunuh. Selain itu waktu yang digunakan sering melebihi waktu yang disepakati yaitu tiga bulan.

Kepincangan lain sistem yang dibangun VOC di Maluku Tengah adalah korupsi. Terutama sejak bagian kedua abad ke-18, penyakit ini mulai menjalar di kalangan pejabat-pejabat Belanda. Mental pedagang yang merupakan ciri bekas pejabat-pejabat Belanda pada abad ke-17, mulai berganti dengan mental pegawai pemerintah dalam abad ke-18 sehingga untung-rugi perusahaan sebagai dorongan utama, berganti dengan usaha memperkaya diri masing-masing. Para Residen di daerah-daerah menjual suplai bahan-bahan keperluan yang disalurkan VOC kedaerah-daerah dengan harga yang menguntungkan.

Sumber keresahan lainnya yang disebut oleh pengikut-pengikut  Pattimura adalah sirkulasi uang kertas. Sejak masa VOC pen duduk selalu  menerima uang logam untuk hasil  penjualan cengkeh mereka. Uang kertas mulai di introdusir Daendels di Jawa dan kemudian baru pada tahun 1817  di Ambon. Pernyataan pengikut-pengikut Pattimura menjelaskan adanya penyelewengan dalam hal ini. Pejabat-pejabat daerah membayar hasil cengkeh dengan uang kertas, tetapi penduduk yang membeli bahan-bahan kebutuhan seperti tekstil  di toko-toko pemerintah, diwajibkan membayar dengan uang logam.

Soal uang kertas terutama ditekankan dalam “Pernyataan Hatawano” (Saparua Utara) ketika diadakan perundingan dengan pihak Belanda pada bulan Juli 1817. Antara lain disebut bahwa uang kertas tidak bisa dipergunakan untuk memberi sumbangan digereja (tabung diakoni yang dibuat khusus untuk uang logam). Menurut Pernyataan Hatawano mereka yang menolak menerima uang kertas akan dirantai dan diangkut ke Batavia. Selain menguraikan adanya hambatan-hambatan yang dikenakan atas kegiatan para guru desa yang juga mempunyai kewajiban  mengasuh upacara-upacara agama Kristen, penduduk Hatawano juga  menuntut dikirimnya  dua orang pendeta. Pelayanan upacara-upacara keagamaan oleh pendeta-pendeta Belanda sudah terhenti jauh sebelum pendudukan Inggris. 10 Pihak Inggris yang mengerti sikap penduduk dalam soal ini, menyediakan seorang pendeta (Inggris) sebagai penggantinya. Hal ini tidak dilakukan para pejabat mengambil  alih kekuasaan pada bulan Maret 1817. 

Suatu sumber keresahan lainnya adalah paksaan atas pemuda-pemuda negeri untuk menjadi serdadu di Jawa. Sejak awal abad ke-17 sudah ada orang Ambon yang menjadi anggota tentara VOC, tetapi jumlahnya berkurang sejak pertengahan abad ke-18. Ketika Daendels tiba di  Batavia (1808) dengan rencana-rencana pertahanannya ia memerlukan pemuda-pemuda untuk “milisi”nya. Antara lain sejumlah pemuda Ambon dan pulau Saparua diangkut dengan cara paksaan. Tindakan sewenang-wenang inilah yang tidak disetujui. Selain itu pengalaman pahit semasa Daendels menyebabkan orang menganggap pekerjaan serdadu sebagai suatu hukuman buangan. Mungkin dalam pandangan penduduk praktek ini disamakan dengan kewajiban hongi. 

Perlawanan yang dilakukan Patimura meletus pada tanggal 14 Mei 1817. Rakyat memutuskan untuk menghancurkan pusat kekuasaan kolonial Belanda di benteng  Duurstede  yang terletak di pulau Saparua. Perlawanan Patimura berlangsung sebentar. Semula pihak Patimura memperoleh kemenangan. Namun kemudian mengalami kemunduran Pada akhirnya Patimura tertangkap pada tanggal 12 Nopember 1817. Patimura dan tokoh-tokoh yang melakukan perlawanan dibawa ke Ambon dan disidangkan. Patimura memperoleh hukuman mati sementara yang lain dibuang ke Jawa. 

www.awanputih43.blogspot.com

Tidak ada komentar:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...