Pendidikan : Indonesia Vs Finlandia



Pendidikan : Indonesia Vs Finlandia - Menteri Pendidikan Finlandia, Krista Kiuru, akhir Agustus ini datang ke Jakarta dan bertemu salah satunya dengan Wakil Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau populer disebut Ahok. Dalam pertemuan tersebut, Ahok menyatakan ingin bekerja sama dengan pemerintah Finlandia, terutama untuk pelatihan guru. Pelajaran yang dapat dipetik dari pemerintah Finlandia dalam mengembangkan pendidikan adalah komitmen politik yang kuat. Keberhasilan pendidikan di Finlandia saat ini merupakan hasil dari proses panjang reformasi pendidikan yang dimulai sejak dekade 1970-an dengan mendasarkan diri pada nilai kesamaan hak. Mereka tidak percaya pada elitisme sekolah maupun kelompok masyarakat. Mereka meyakini, kalau ingin membangun seluruh masyarakat, harus mendidik bangsa secara menyeluruh pula. 
Kunci keberhasilan pendidikan di Finlandia itu adalah terdapatnya guru-guru yang berkualitas. Banyak sumber daya pendidikan dialokasikan untuk pendidikan guru. Guru-guru di Finlandia bergelar master. Contoh tingginya kualitas guru di Finlandia itu diperlihatkan oleh sosok Martti Ahtisaari, mantan Presiden Finlandia yang sekaligus pernah menjadi pemenang Hadiah Nobel. Sebelumnya, ia seorang guru sekolah dasar. 

Finlandia dalam satu dekade terakhir memang tengah menjadi kiblat pendidikan dunia karena dinilai memiliki kualitas pendidikan terbaik di dunia berdasarkan standar tes-tes yang diberlakukan secara internasional, seperti Trends in International Mathematics and Science Study (TIMSS), Progress in International Reading Literacy Study (PIRLS), dan Programme for International Student Assessment (PISA). Berdasarkan hasil tes TIMSS, PIRLS, dan PISA, Finlandia selalu masuk kategori negara-negara yang memiliki hasil tes tinggi, sedangkan Indonesia masuk kategori negara-negara yang memiliki hasil tes rendah. 
Betul bahwa tes itu sendiri tidak terbebas dari kepentingan kapital, terbukti yang mengorganisasikan adalah Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD), bukan UNESCO (badan PBB yang mengurusi masalah pendidikan dan kebudayaan), dan untuk mengikutinya mesti membayar puluhan ribu dolar Amerika, sehingga negara seperti Filipina memilih tidak mengikutinya. Meskipun demikian, sampai saat ini hasil tes tersebut sering dijadikan acuan untuk melihat kualitas pendidikan maupun melek aksara di suatu negara. Indonesia termasuk negara yang mempercayai hasil tes-tes tersebut.

Kemajuan pendidikan yang dicapai oleh Finlandia tersebut telah mendorong penentu kebijakan maupun para akademisi dan aktivis di Indonesia untuk berkiblat ke Finlandia, seperti yang diperlihatkan dalam konsep Kurikulum 2013 yang sekarang tengah diperkenalkan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan M. Nuh. Kurikulum ini mewakili pandangan praktis, dipicu oleh kebutuhan individual siswa yang tidak dapat diseragamkan dengan penekanan pada berpikir kritis yang diwujudkan dalam tindakan nyata dengan membangun kolaborasi di antara pelaku pendidikan (guru, siswa, pengelola), mengevaluasi proses secara terus-menerus melalui pemantauan proses dan capaiannya secara ketat, penilaian berdasarkan kemajuan siswa dalam pembelajaran (relatif terhadap dirinya pada periode sebelumnya), dan hasil akhir dapat berbeda bagi tiap siswa sesuai dengan bakat dan minatnya (M. Nuh: 2013).

Jadi, dengan kata lain, Kurikulum 2013 memiliki rujukan yang jelas, yaitu Finlandia. Hanya, implementasinya di lapangan ada perbedaan yang mendasar antara di Finlandia dan di Indonesia. Pemerintah Finlandia justru mengurangi jam tatap muka di kelas dan memperkuat proses pembimbingan personal serta tidak menerapkan ujian nasional (UN) sebagai penentu kelulusan. Tapi, di Indonesia, pada Kurikulum 2013 justru ada penambahan empat jam pelajaran dalam seminggu dan tetap memberlakukan UN sebagai penentu kelulusan. Konsekuensi dari penambahan jam pelajaran adalah anak-anak akan semakin lebih banyak di sekolah dan kurang mengenal lingkungan (geografis maupun sosial). Akibatnya, alih-alih melahirkan generasi yang peka terhadap lingkungan sekitar, ia justru melahirkan generasi yang kuper (kurang pergaulan). Ini memang kontradiksi antara apa yang diinginkan oleh penentu kebijakan dan yang diputuskan serta dilaksanakan di lapangan. 

Berdasarkan uraian di atas, ada dua catatan yang dapat diberikan di sini. Pertama, kecenderungan para pengambil kebijakan untuk menjadikan sistem pendidikan di Finlandia sebagai rujukan untuk pengembangan sistem pendidikan nasional adalah sah-sah saja. Tapi hendaknya prosesnya dilaksanakan secara konsisten agar berhasil baik. Sebab, bila tidak konsisten, apa yang baik di negara asal, ketika kita adopsikan di Indonesia, belum tentu hasilnya sama baiknya. Sebagai contoh, seperti terlihat dalam Kurikulum 2013. Secara konseptual, Kurikulum 2013 mengadopsi kurikulum yang berlaku di Finlandia sejak dekade 1990-an. Tapi, dalam implementasinya, Kurikulum 2013 menambahkan jam pelajaran di kelas sebanyak empat jam seminggu dan tetap menerapkan UN (Ujian Nasional) sebagai penentu kelulusan. Ini jelas memperlihatkan sikap ambivalensi penentu kebijakan. Sebetulnya yang akan dicapai itu penambahan jam pelajaran per minggu atau hasil pendidikan yang baik? Jika yang akan dicapai adalah hasil yang baik, jelas bahwa hasil yang baik tersebut tidak harus disertai dengan penambahan jumlah jam pelajaran di kelas. 

Kurikulum 2013 yang mengacu pada Finlandia itu menjadi problematik lagi ketika ternyata, dalam strukturnya (pengaturan bobot jam pelajaran), dibebani oleh jumlah jam pelajaran yang memiliki muatan moral/sikap cukup besar, seperti Pendidikan Agama dan PPKN (Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan). Keduanya itu cenderung mengajarkan berpikir dogmatis-normatif, padahal yang hendak dibidik dengan mengadopsi kurikulum yang action-oriented adalah tumbuhnya generasi yang kritis, kreatif, dan mandiri. Dalam suatu tatanan masyarakat yang normatif-dogmatis, sulit mengharapkan munculnya sikap kritis dan kreatif. Akibatnya, bila tidak ada koreksi secepatnya, Kurikulum 2013, yang secara konseptual bagus, memberi hasil yang serba tanggung. 

Catatan kedua adalah soal peningkatan kualitas guru sebagai garda depan kualitas pendidikan. Di Finlandia, guru berasal dari para lulusan SMA terbaik. Tapi, di Indonesia, guru terseleksi dari lulusan SMA yang tidak lolos di sejumlah PTN terkemuka. Menjamurnya Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) swasta dalam lima tahun terakhir dapat menjadi bumerang bagi pencapaian kualitas pendidikan nasional. Sebab, guru-guru masa depan lahir dari sejumlah LPTK yang tidak didukung oleh prasarana, sarana, dan kualitas dosen yang memadai, sehingga kualitasnya diragukan. Karena itu, bila hendak berkiblat ke Finlandia, kebijakan pengembangan LPTK pun perlu diperketat, hanya PTN/PTS unggul saja yang berhak mendidik calon-calon guru. Bila tidak, hasilnya justru kemerosotan pendidikan nasional.

Sumber : Koran Tempo 


Tidak ada komentar:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...