Kunci keberhasilan pendidikan di
Finlandia itu adalah terdapatnya guru-guru yang berkualitas. Banyak sumber daya
pendidikan dialokasikan untuk pendidikan guru. Guru-guru di Finlandia bergelar
master. Contoh tingginya kualitas guru di Finlandia itu diperlihatkan oleh
sosok Martti Ahtisaari, mantan Presiden Finlandia yang sekaligus pernah menjadi
pemenang Hadiah Nobel. Sebelumnya, ia seorang guru sekolah dasar.
Finlandia dalam satu dekade terakhir
memang tengah menjadi kiblat pendidikan dunia karena dinilai memiliki kualitas
pendidikan terbaik di dunia berdasarkan standar tes-tes yang diberlakukan
secara internasional, seperti Trends in International Mathematics and
Science Study (TIMSS), Progress in International Reading Literacy Study
(PIRLS), dan Programme for International Student Assessment (PISA).
Berdasarkan hasil tes TIMSS, PIRLS, dan PISA, Finlandia selalu masuk kategori
negara-negara yang memiliki hasil tes tinggi, sedangkan Indonesia masuk
kategori negara-negara yang memiliki hasil tes rendah.
Betul bahwa tes itu sendiri tidak
terbebas dari kepentingan kapital, terbukti yang mengorganisasikan adalah Organisation
for Economic Co-operation and Development (OECD), bukan UNESCO (badan PBB
yang mengurusi masalah pendidikan dan kebudayaan), dan untuk mengikutinya mesti
membayar puluhan ribu dolar Amerika, sehingga negara seperti Filipina memilih
tidak mengikutinya. Meskipun demikian, sampai saat ini hasil tes tersebut
sering dijadikan acuan untuk melihat kualitas pendidikan maupun melek aksara di
suatu negara. Indonesia termasuk negara yang mempercayai hasil tes-tes
tersebut.
Kemajuan pendidikan yang dicapai
oleh Finlandia tersebut telah mendorong penentu kebijakan maupun para akademisi
dan aktivis di Indonesia untuk berkiblat ke Finlandia, seperti yang
diperlihatkan dalam konsep Kurikulum 2013 yang sekarang tengah diperkenalkan
oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan M. Nuh. Kurikulum ini mewakili pandangan
praktis, dipicu oleh kebutuhan individual siswa yang tidak dapat diseragamkan
dengan penekanan pada berpikir kritis yang diwujudkan dalam tindakan nyata
dengan membangun kolaborasi di antara pelaku pendidikan (guru, siswa,
pengelola), mengevaluasi proses secara terus-menerus melalui pemantauan proses
dan capaiannya secara ketat, penilaian berdasarkan kemajuan siswa dalam
pembelajaran (relatif terhadap dirinya pada periode sebelumnya), dan hasil
akhir dapat berbeda bagi tiap siswa sesuai dengan bakat dan minatnya (M.
Nuh: 2013).
Jadi, dengan kata lain, Kurikulum
2013 memiliki rujukan yang jelas, yaitu Finlandia. Hanya, implementasinya di
lapangan ada perbedaan yang mendasar antara di Finlandia dan di Indonesia.
Pemerintah Finlandia justru mengurangi jam tatap muka di kelas dan memperkuat
proses pembimbingan personal serta tidak menerapkan ujian nasional (UN) sebagai
penentu kelulusan. Tapi, di Indonesia, pada Kurikulum 2013 justru ada
penambahan empat jam pelajaran dalam seminggu dan tetap memberlakukan UN
sebagai penentu kelulusan. Konsekuensi dari penambahan jam pelajaran adalah
anak-anak akan semakin lebih banyak di sekolah dan kurang mengenal lingkungan
(geografis maupun sosial). Akibatnya, alih-alih melahirkan generasi yang peka
terhadap lingkungan sekitar, ia justru melahirkan generasi yang kuper (kurang
pergaulan). Ini memang kontradiksi antara apa yang diinginkan oleh penentu
kebijakan dan yang diputuskan serta dilaksanakan di lapangan.
Berdasarkan uraian di atas, ada dua
catatan yang dapat diberikan di sini. Pertama, kecenderungan para pengambil
kebijakan untuk menjadikan sistem pendidikan di Finlandia sebagai rujukan untuk
pengembangan sistem pendidikan nasional adalah sah-sah saja. Tapi hendaknya
prosesnya dilaksanakan secara konsisten agar berhasil baik. Sebab, bila tidak
konsisten, apa yang baik di negara asal, ketika kita adopsikan di Indonesia,
belum tentu hasilnya sama baiknya. Sebagai contoh, seperti terlihat dalam
Kurikulum 2013. Secara konseptual, Kurikulum 2013 mengadopsi kurikulum yang
berlaku di Finlandia sejak dekade 1990-an. Tapi, dalam implementasinya,
Kurikulum 2013 menambahkan jam pelajaran di kelas sebanyak empat jam seminggu
dan tetap menerapkan UN (Ujian Nasional) sebagai penentu kelulusan. Ini jelas
memperlihatkan sikap ambivalensi penentu kebijakan. Sebetulnya yang akan
dicapai itu penambahan jam pelajaran per minggu atau hasil pendidikan yang
baik? Jika yang akan dicapai adalah hasil yang baik, jelas bahwa hasil yang
baik tersebut tidak harus disertai dengan penambahan jumlah jam pelajaran di
kelas.
Kurikulum 2013 yang mengacu pada
Finlandia itu menjadi problematik lagi ketika ternyata, dalam strukturnya
(pengaturan bobot jam pelajaran), dibebani oleh jumlah jam pelajaran yang
memiliki muatan moral/sikap cukup besar, seperti Pendidikan Agama dan PPKN
(Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan). Keduanya itu cenderung mengajarkan
berpikir dogmatis-normatif, padahal yang hendak dibidik dengan mengadopsi
kurikulum yang action-oriented adalah tumbuhnya generasi yang kritis,
kreatif, dan mandiri. Dalam suatu tatanan masyarakat yang normatif-dogmatis, sulit
mengharapkan munculnya sikap kritis dan kreatif. Akibatnya, bila tidak ada
koreksi secepatnya, Kurikulum 2013, yang secara konseptual bagus, memberi hasil
yang serba tanggung.
Catatan kedua adalah soal
peningkatan kualitas guru sebagai garda depan kualitas pendidikan. Di
Finlandia, guru berasal dari para lulusan SMA terbaik. Tapi, di Indonesia, guru
terseleksi dari lulusan SMA yang tidak lolos di sejumlah PTN terkemuka.
Menjamurnya Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) swasta dalam lima tahun
terakhir dapat menjadi bumerang bagi pencapaian kualitas pendidikan nasional.
Sebab, guru-guru masa depan lahir dari sejumlah LPTK yang tidak didukung oleh
prasarana, sarana, dan kualitas dosen yang memadai, sehingga kualitasnya
diragukan. Karena itu, bila hendak berkiblat ke Finlandia, kebijakan
pengembangan LPTK pun perlu diperketat, hanya PTN/PTS unggul saja yang berhak
mendidik calon-calon guru. Bila tidak, hasilnya justru kemerosotan pendidikan
nasional.
Sumber : Koran Tempo
Tidak ada komentar:
Posting Komentar