Dalam
waktu singkat, lebih-lebih oleh karena
jatuhnya Malaka te tangan orang Portugis dalam tahun 1511, Demak mencapai
kejayaannya. Daerah-daerah pesisir di Jawa Tengah dan Timur mengakui kedaulatannya dan mengibarkan panji-panjinya.
Terutama puteranya, Pati Unus, yang
menjabat adipati di Japara, sangat giat membantu usaha ayahnya, yaitu memperluas dan memperkuat
kedudukan Kerajaan Demak sebagai
kerajaan Islam. Dalam tahun 1513 ia bahkan memberanikan diri untuk memimpin suatu armada menggempur
Malaka untuk mengusir orang Portugis.
Sayang bahwa usaha ini gagal; armada Portugis ternyata lebih unggul.
Ketika
Raden Patah wafat (tahun 1518), Pati Unus menggantikannya menjadi Sultan,
tetapi 3 tahun kemudian iapun meninggal. Ia terkenal juga dengan nama Pangeran Sabrang Lor.
Penggantinya adalah saudara Pati Unus,
bernama Pangeran Trenggono, yang memerintah sampai tahun 1546. Ia tidak kalah
giatnya dari Pati Unus dan ayahnya, untuk memperkokoh singgasana Demak dan
menegakkan tiang-tiang agama Islam. Adanya orang-orang Portugis di Malaka
dirasanya sebagai ancaman dan bahaya. Oleh karena ia belum sanggup langsung
menggempur mereka, maka ia mengambil siasat lain. Ia berusaha membendung perluasan
daerah oleh bangsa Portugis, yang sementara itu telah berhasil menguasai pula
daerah Pase di Sumatra Utara.
Seorang
ulama terkemuka dari Pase bernama Fatahillah, yang sempat melarikan diri dari kepungan orang-orang
Portugis diterima oleh Trenggono dengan senang hati. Demikian terbuka dan
gembiranya Trenggono menerima Fatahillah
sehingga ia kawinkan dengan adiknya, dan ternyata Fatahillah adalah orang yang
dapat melaksanakan maksud-maksud Trenggono. Ia berhasil menghalangi kemajuan
orang Portugis dengan merebut kunci-kunci perdagangan kerajaan Pajajaran di
Jawa Barat yang belum masuk Islam, yaitu Banten dan Cirebon. Dalam tahun 1522
orang-orang Portugis datang di Sunda Kalapa, pelabuhan utama Pajajaran. Dengan
raja Pajajaran mereka bersepakat untuk kerjasama menghadapi Islam, dan orang
Portugis diizinkan untuk mendirikan sebuah benteng di Sunda Kalapa itu.
Ketika
orang Portugis datang kembali untuk melaksanakan rencana mereka dalam tahun
1527 ternyata Sunda Kalapa sudah menjadi Jayakarta, yang mengakui kedaulatan
Fatahillah di Banten. Dengan gempuran-gempuran yang seru mereka terpaksa meninggalkan
pantai Jawa Barat. Sementara itu Trenggono sendiri berhasil menaklukkan Mataram
di pedalaman Jawa Tengah, dan juga Singhasari di Jawa Timur bagian Selatan.
Pasuruan dan Panarukan dapat bertahan, sedangkan Blambangan menjadi bagian dari kerajaan Bali
yang tetap Hindu. Dalam usahanya
menaklukkan Pasuruan Pangeran Trenggono itu gugur (1546). Dengan wafatnya Pangeran
Trenggono, timbullah perebutan kekuasaan antara adik Trenggono dan anak
Trenggono. Adik Trenggono segera terbunuh di tepi sungai (maka itu terkenal
dengan nama Pangeran Sekar Seda ing Lepen), tetapi anak Trenggono, Pangeran Prawoto,
beserta keluarganya kemudian dibinasakan oleh anak Sekar Seda ing Lepen yang
bernama Arya Panangsang. Arya Panangsang ini sangat kejam, sehingga tidak ada
orang yang suka melihat ia di atas takhta kerajaan Demak. Maka kekacauan
belumlah reda, bahkan segera memuncak lagi ketika adipati Jepara yang sangat
besar pengaruhnya dibunuh pula oleh Arya Panangsang. Isteri adipati tersebut,
yang terkenal sebagai Ratu Kalinyamat, segera mengangkat senjata untuk
mempertahankan hak-haknya. Ia berhasil juga untuk menggerakkan adipati-adipati
lainnya menentang Arya Panangsang itu.
Seorang
di antara adipati-adipati ini adalah Adiwijoyo, yang lebih terkenal dengan nama
Jaka Tingkir. Ia adalah seorang menantu Sultan Trenggono, dan berkuasa di
Pajang (daerah Boyolali). Di dalam pertempuran-pertempuran
yang timbul itu, Joko Tingkir berhasil membinasakan Arya Panangsang, dan
Keraton Demak dipindahkan olehnya ke Pajang (1568). Dengan tindakan ini maka
habislah riwayat kerajaan Demak.
www.awanputih43.blogspot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar