Perang
Diponegoro merupakan salah satu pertempuran terbesar yang pernah dialami oleh
Belanda selama masa pendudukannya di Nusantara. Peperangan ini terjadi secara
menyeluruh wilayah Jawa, sehingga disebut Perang Jawa.
Setelah
kekalahannya dalam Peperangan era Napoleon di Eropa, pemerintah Belanda yang
berada dalam kesulitan ekonomi berusaha menutup kekosongan kas mereka dengan
memberlakukan berbagai pajak di wilayah jajahannya, termasuk di Hindia Belanda.
Selain itu, mereka juga melakukan monopoli usaha dan perdagangan untuk
memaksimalkan keuntungan. Pajak-pajak dan praktek monopoli tersebut amat
mencekik rakyat Indonesia yang ketika itu sudah sangat menderita.Banyak hasil
bumi diambil oleh Belanda.
Untuk
semakin memperkuat kekuasaan dan perekonomiannya, Belanda mulai berusaha
menguasai kerajaan-kerajaan lain di Nusantara, salah satu di antaranya adalah
Kerajaan Yogyakarta. Ketika Sultan Hamengku Buwono IV wafat, kemenakannya, Sultan
Hamengku Buwono V yang baru berusia 3 tahun, diangkat menjadi penguasa. Akan
tetapi pada prakteknya, pemerintahan kerajaan dilaksanakan oleh Patih Danuredjo,
seseorang yang mudah dipengaruhi dan tunduk kepada Belanda. Belanda dianggap
mengangkat seseorang yang tidak sesuai dengan pilihan/adat keraton.
Campur
tangan Belanda terhadap Kesultanan Yogjakarta tersebut telah menimbulkan
kekecewaan-kekecewaan di kalangan kerabat keraton yang kemudian menimbulkan
perlawanan di bawah pimpinan Pangeran Diponegoro. Sebab-sebab perlawanan
Diponegoro, antara lain sebagai berikut :
1.
Adanya kekecewaan dan kebencian kerabat
istana terhadap tindakan Belanda yang makin intensif mencampuri urusan keraton
melalui Patih Danurejo (kaki tangan Belanda).
2.
Adanya kebencian rakyat pada umumnya dan para
petani khususnya, akibat tekanan pajak yang sangat memberatkan.
3.
Adanya kekecewaan di kalangan para bangsawan,
karena hak-haknya banyak yang dikurangi.
4.
Sebagai sebab khususnya ialah adanya
pembuatan jalan oleh Belanda melewati makam leluhur Pangeran Diponegoro di
Tegalrejo.
Pertempuran
meletus pada tanggal 20 Juli 1825 di Tegalrejo. Setelah pertempuran di
Tegalrejo, Pangeran Diponegoro dan pasukannya menyingkir ke Dekso. Di daerah
Plered, pasukan Diponegoro dipimpin oleh Kertapengalasan yang memiliki
kemampuan yang cukup kuat.
Kabar
mengenai pecahnya perang melawan Belanda segera meluas ke berbagai daerah.
Dengan dikumandangkannya "Perang Sabil" di Surakarta oleh Kyai Mojo,
di Kedu oleh Kyai Hasan Besari, dan di daerah-daerah lain; maka pada
pertempuran-pertempuran tahun 1825-1826 pasukan Belanda banyak terpukul dan
terdesak. Melihat kenyatan ini, kemudian Belanda menggunakan usaha dan tipu
daya untuk mematahkan perlawanan, antara lain:
1.
Siasat benteng stelsel, yang dilakukan oleh
Jenderal De Kock mulai tahun 1827;
2.
Siasat bujukan, agar perlawanan menjadi reda;
3.
Siasat pemberian hadiah sebesar 20.000,- ringgit
kepada siapa saja yang dapat menangkap Pangeran Diponegoro;
4.
Siasat tipu muslihat, yaitu ajakan berunding
dengan Pangeran Diponegoro dan akhirnya ditangkap.
Dengan
berbagai tipu daya, akhirnya satu persatu pemimpin perlawanan tertangkap dan
menyerah, antara lain, Pangeran Suryamataram dan Ario Prangwadono (tertangkap
19 Januari 1827); Pangeran Serang dan Notoprodjo (menyerah 21 Juni 1827);
Pangeran Mangkubumi (menyerah 27 September 1829), dan Alibasah Sentot
Prawirodirdjo (menyerah tanggal 24 Oktober 1829).
www.awanputih43.blogspot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar