Petisi Sutarjo 15 Juli 1936 - Strategi baru dalam
pergerakan nasional perlu dilakukan karena terjadinya perubahan situasi.
Gerakan-gerakan non kooperatif jelas tidak mendapat jalan, dan harus ada dibawah
persetujuan pemerintah Hindia Belanda dan Kerajaan Belanda. Oleh karena itu,
masih ada jalan untuk meneruskan perjuangan lewat dewan rakyat. Partai-partai
politik masih ada kesepakatan untuk melakukan aksi bersama, sehingga muncul apa
yang dikenal sebagai petisi Sutarjo pada tanggal 15 Juli 1936.
Sutarjo mengajukan usul kepada
pemerintah Hindia Belanda agar diadakan konferensi kerajaan Belanda yang
membahas status politik Hindia Belanda. Ia menginginkan kejelasan status
politik Hindia Belanda dalam 10 tahun mendatang yang berupa status otonomi,
meskipun masih ada dalam batas pasal 1 Undang-undang Dasar kerajaan Belanda.
Hal ini dimaksudkan agar tercapai kerja sama yang mendorong rakyat untuk
memajukan negerinya dengan rencana yang mantap dalam menentukan kebijakan
politik, ekonomi dan sosial. Jelas bahwa petisi ini bersifat moderat dan
kooperatif melalui cara-cara yang sah dalam Dewan Rakyat (Volksraad).
Petisi yang ditandatangani I.J.
Kasimo, Ratulangi, Datuk Tumenggung dan Kwo Kwat Tiong dapat dipandang sebagai
upaya untuk keluar dari jalan sempit yang dilalui para nasionalis. Berbagai
pihak memberikan kritik. Sebagian mengatakan bahwa penganjur petisi itu tidak
ada bedanya dengan peminta-peminta yang minta dikasihani, sedangkan yang lain
mengatakan petisi itu mengurangi perjuangan otonomi. Pada umumnya pihak Belanda
menolak petisi itu mengurangi perjuangan otonomi. Pada umumnya pihak Belanda
menolak petisi itu dan Vaderlandse Club (VC) menganggap hal itu terlalu
prematur. Partai Kristen, Partai Katolik, dan kaum Indo berpandangan bahwa
petisi tersebut diajukan pada saat yang tidak tepat, karena masalah-masalah
lain yang lebih besar dan sedang dihadapi.
Meskipun dalam Dewan Rakyat lebih
banyak menyetujui petisi itu, tetapi pemerintah menganggap masih terlalu
prematur dan otonomi yang diusulkan dianggap tidak wajar. dengan kata lain,
pemerintah tidak menginginkan adanya perubahan yang dianggap membuka peluang
yang mengancam runtuhnya bangunan kolonial.
Makin majunya tuntutan para
nasionalis membuktikan runtuhnya politik etis yang selalu didambakan, karena
pemerintah masih memegang kuat paternalismenya, sehingga dapat diramalkan bahwa
petisi sutarjo itu tidak akan berhasil. Para nasionalis sendiri menganggap
bahwa petisi harus disebarluaskan ke tengah masyarakat. Pada tahun 1938 banyak
diselenggarakan rapat untuk mendukung petisi itu. Rapat-rapat itu merupakan
suatu usaha gigih yang dilakukan para nasionalis waktu itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar