Bung Tomo |
Pada tanggal 27 Oktober 1945 pukul
11.00 peawat terbang Inggris menyebarkan panflet yang berisi perintah agar
rakyat Surabaya menyerahkan senjata yang dirampas dari Jepang.Isi pamflet ini
menimbulkan kecurigaan sehingga
pemerintah memerintahkan kepada para pemuda untuk siaga menghadapi
segala kemungkinan. Pada tanggal 27 Oktober 1945 ini terjadi kontak senjata
yang pertama antara para pemuda dengan tentara Inggris. Kontak senjata ini
meluas sehingga terjadi pertempuran pada tanggal 28,29 dan 30 Oktober 1945.
Dalam pertempuran ini pasukan sekutu dapat dipukul mundur, beberapa obyek vital
berhasil direbut kembali oleh para pemuda Surabaya.
Melihat kenyataan ini, Komandan
sekutu menghubungi Presiden Soekarno untuk mendamaikan perselisihan antara
bangsa Indonesia dengan pasukan Inggris di Surabaya. Pada tanggal 30 Oktober
1945 Bung Karno, Bung Hatta dan Amir Syarifuddin datang ke Surabaya untuk
mendamaikan perselisihan itu. Perdaamaian berhasil dicapai tetapi setelah Bung
Karno, Bung Hatta dan Amir Syarifuddin kembali ke Jakarta pertempuran tidak
dapat dielakan lagi dan menyebabkan terbunuhnya Brigadir Jendral AWS Mallaby.
Serangan arek-arek Suroboyo
mengakibatkan Brigjen Mallaby tewas di dalam mobil ini
(sumber:http://id.wikipedia.org/wiki/ Peristiwa 10 November) |
Melihat keadaan ini, Inggris
mendatangkan bala bantuan dari Divisi V dibawah Mayor Jenderal Mansergh dengan
24.000 orang anak buahnya mendarat di Surabaya. Tanggal 9 Nopember 1945 Inggris
mengeluarkan Ultimatum yang berisi ancaman bahwa Inggris akan mengempur kota Surabaya
dari darat, laut dan udara apabila orang-orang Indonesia tidak mentaati
perintah-perintah Inggris. Inggris juga mengeluarkan instruksi yang isinya “ …
bahwa semua pemimpin bangsa Indonesia dari semua pihak di Surabaya harus datang
selambat-lambatnya tanggal 10 Nopember 1945 pukul 06.00 pagi pada tempat yang
telah ditentukan dengan membawa bendera Merah Putih yang diletakan diatas tanah
pada jarak 100 meter dari tempat berdiri lalu mengangkat tangan tanda
menyerah”.
Ultimatum ini tidak ditaati oleh rakyat
Indonesia di Surabaya. Pada tanggal 10 Nopember 1945 terjadi pertempuran
dahsyat, rakyat Surabaya bertekat untuk membela kemerdekaan secara mati-matian.
Kejadian ini merupakan sebuah lambang keberanian dan kebulatan tekat dalam
mempertahankan kemerdekaan dan membela Tanah Air Indonesia dari segala bentuk
penjajahan. Peristiwa 10 Nopember ini diperingati setiap tahun sebagai hari
Pahlawan oleh seluruh bangsa Indonesia.
Peranan
Bung Tomo dalam peristiwa 10 Nopember 1945
Di balik pertempuran dahsyat yang
terjadi pada tanggal 10 Nopember 1945, ada sebuah nama yang mempunyai andil
besar dalam memompa semangat, keberanian, dan rasa cinta tanah air khususnya
kepada arek-arek Suroboyo. Dialah Sutomo atau biasa disebut Bung Tomo
yang lahir di Surabaya pada tanggal 3 Oktober 1920. Bung Tomo adalah
seorang wartawan yang aktif menulis di beberapa surat kabar dan majalah, di
antaranya: Harian Soeara Oemoem, Harian berbahasa Jawa Ekspres, Mingguan
Pembela Rakyat, Majalah Poestaka Timoer, menjabat sebagai wakil pemimpin
redaksi Kantor Berita pendudukan Jepang Domei, dan pemimpin redaksi Kantor
Berita Antara di Surabaya. Beliau juga menjabat sebagai pucuk pimpinan Barisan
Pemberontak Rakyat Indonesia (BPRI) – yang akhirnya dilebur ke dalam Tentara
Nasional Indonesia. BPRI bertugas mendidik, melatih, dan mengirimkan
kesatuan-kesatuan bersenjata ke seluruh wilayah tanah air. Di balik sederet
jabatan yang diembannya Bung Tomo dikenal luas sebagai pribadi yang sederhana
dan dekat dengan segala lapisan masyarakat termasuk kalangan bawah. Bung Tomo
juga aktif berpidato yang disiarkan oleh Radio BPRI untuk mengobarkan semangat
perjuangan yang selalu direlai oleh RRI di seluruh wilayah Indonesia. Isi
pidato beliau begitu khas: heroik, penuh semangat, berapi-api, disampaikan
dengan sorot mata tajam dan terbukti telah berhasil mengobarkan semangat arek-arek
Suroboyo untuk mengangkat senjata tak kenal kata surut menghadapi lawan
yang tangguh.
Berikut petikan pidato Bung Tomo
yang sangat terkenal itu:
“Selama banteng-banteng Indonesia
masih mempunyai darah merah yang dapat membikin secarik kain putih menjadi
merah dan putih, maka selama itu tidak akan kita mau menyerah kepada siapapun
juga. Kita tunjukken bahwa kita ini benar-benar orang-orang yang ingin merdeka.
Dan untuk kita saudara-saudara, lebih baik hancur lebur daripada tidak merdeka.
Semboyan kita
tetap “Merdeka atau Mati”. Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar!!
Merdeka!!”
Refleksi
Terhadap Perjuangan Arek-arek Surabaya 10 Nopember 1945
Sudah 68 tahun yang lalu peristiwa
heroik yang ditunjukan arek-arek Surabaya terjadi, sungguh merupakan suatu jiwa
kepahlawanan yang luar biasa yang sampai hari ini kita selalu mengenangnya
sebagai hari pahlawan. Jiwa rela berkorban, berjuang demi kejayaan bangsa dan
negara Indonesia yang akhir-akhir ini mulai memudar di kalangan masyarakat
bangsa kita, kondisi bangsa kita saat ini sudah jauh dari cita-cita para
pejuang yang susah payah mengusir penjajah untuk mempertahankan kemerdekaan.
Bangsa Indonesia kini didera dengan permasalahan-permasalahan kebangsaan antara
lain :
1. Disorientasi dan belum
Dihayatinya Nilai-nilai Pancasila sebagai Filosofi dan Ideologi Bangsa
Pancasila sebagai kristalisasi
nilai-nilai kehidupan masyarakat yang bersumber dari budaya Indonesia telah
menjadi ideologi dan pandangan hidup. Pancasila sebagaimana tercantum dalam
Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 merupakan ideologi negara dan sebagai dasar
negara.Pancasila sebagai pandangan hidup mengandung makna bahwa hakikat hidup
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dijiwai oleh moral dan etika yang
dimanifestasikan dalam sikap perilaku dan kepribadian manusia Indonesia yang
proporsional baik dalam hubungan manusia dengan yang maha pencipta, dan
hubungan antara manusia dengan manusia, serta hubungan antara manusia dengan
lingkungannya. Namun dalam kehidupan masyarakat prinsip tersebut tampak belum
terlaksana dengan baik. Kekerasan (domestik maupun nasional) dan hempasan
globalisasi sampai kepada korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) masih belum
dapat diatasi.
Masalah tersebut muncul karena telah
terjadi disorientasi dan belum dihayatinya nilai-nilai Pancasila yang diakui
kebenarannya secara universal. Pancasila sebagai sumber karakter bangsa yang
dimaksudkan adalah keseluruhan sifat yang mencakup perilaku, kebiasaan,
kesukaan, kemampuan, bakat, potensi, nilai-nilai, dan pola pikir yang dimiliki
oleh sekelompok manusia yang mau bersatu, merasa dirinya bersatu, memiliki
kesamaan nasib, asal, keturunan, bahasa, adat dan sejarah Indonesia.
2. Keterbatasan Perangkat Kebijakan
Terpadu dalam Mewujudkan Nilai-nilai Esensi Pancasila
Substansi hukum, baik hukum tertulis
maupun hukum tidak tertulis sudah tertuang secara implisit maupun eksplisit
dalam produk-produk hukum yang ada. Substansi hukum mengarah pada pemenuhan kebutuhan
pembangunan dan aspirasi masyarakat, terutama dalam pemenuhan rasa keadilan di
depan hukum. Namun demikian berbagai kebijakan dan produk hukum tersebut masih
belum sepenuhnya dapat mengakomodasi kebutuhan untuk mewujudkan nilai-nilai
esensi Pancasila sebagai landasan dalam kehidupan masyarakat, berbangsa dan
bernegara. Akibatnya, maka penanaman nilai-nilai Pancasila sebagai wahana dan
sarana membangun karakter bangsa, meningkatkan komitmen terhadap NKRI serta
menumbuhkembangkan etika kehidupan berbangsa bagi seluruh rakyat Indonesia
belum optimal. Oleh karena itu, pewujudan nilai-nilai esensi Pancasila pada
semua lapisan masyarakat Indonesia perlu didukung perangkat kebijakan terpadu.
3. Bergesernya Nilai-nilai Etika
dalam Kehidupan Berbangsa dan Bernegara
Pembangunan nasional dalam segala
bidang yang telah dilaksanakan selama ini memang mengalami berbagai kemajuan.
Namun, di tengah-tengah kemajuan tersebut terdapat dampak negatif, yaitu
terjadinya pergeseran terhadap nilai-nilai etika dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Pergeseran sistem nilai ini sangat nampak dalam kehidupan masyarakat dewasa
ini, seperti penghargaan terhadap nilai budaya dan bahasa, nilai solidaritas
sosial, musyawarah mufakat, kekeluargaan, sopan santun, kejujuran, rasa malu
dan rasa cinta tanah air dirasakan semakin memudar. Perilaku korupsi masih
banyak terjadi, identitas ke-"kami"-an cenderung ditonjolkan dan
mengalahkan identitas ke-"kita"-an, kepentingan kelompok, dan
golongan seakan masih menjadi prioritas. Ruang publik yang terbuka dimanfaatkan
dan dijadikan sebagai ruang pelampiasan kemarahan dan amuk massa. Benturan dan
kekerasan masih saja terjadi di mana-mana dan memberi kesan seakan-akan bangsa
Indonesia sedang mengalami krisis moral sosial yang berkepanjangan. Banyak
penyelesaian masalah yang cenderung diakhiri dengan tindakan anarkis. Aksi
demontrasi mahasiswa dan masyarakat seringkali melewati batas-batas ketentuan,
merusak lingkungan, bahkan merobek dan membakar lambang-lambang Negara yang
seharusnya dijunjung dan dihormati. Hal tersebut, menegaskan bahwa telah
terjadi pergeseran nilai-nilai etika dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Bisa jadi kesemua itu disebabkan belum optimalnya upaya pembentukan karakter
bangsa, kurangnnya keteladanan para pemimpin, lemahnya budaya patuh pada hukum,
cepatnya penyerapan budaya global yang negatif dan ketidakmerataan kondisi
sosial dan ekonomi masyarakat.
4. Memudarnya Kesadaran terhadap
Nilai-nilai Budaya Bangsa
Pembangunan di bidang budaya telah
mengalami kemajuan yang ditandai dengan meningkatnya pemahaman terhadap
keberagaman nilai-nilai budaya bangsa. Namun arus budaya global yang sering
dikaitkan dengan kemajuan di bidang komunikasi mencakup juga penyebaran
informasi secara mendunia melalui media cetak dan elektronika berdampak tehadap
ideologi, agama, budaya dan nilai-nilai yang dianut manyarakat Indonesia.
Pengaruh arus deras budaya global yang negatif menyebabkan kesadaran terhadap
nilai-nilai budaya bangsa dirasakan semakin memudar. Hal ini tercermin dari
perilaku masyarakat Indonesia yang lebih menghargai budaya asing dibandingkan
budaya bangsa, baik dalam cara berpakaian, bertutur kata, pergaulan bebas, dan
pola hidup konsumtif, serta kurangnya penghargaan terhadap produk dalam negeri.
Berdasarkan indikasi di atas,
globalisasi telah membawa perubahan terhadap pola berpikir dan bertindak
masyarakat dan bangsa Indonesia, terutama masyarakat kalangan generasi muda
yang cenderung mudah terpengaruh oleh nilai-nilai dan budaya luar yang tidak
sesuai dengan kepribadian dan karakter bangsa Indonesia. Untuk itu, diperlukan
upaya dan strategi yang tepat agar masyarakat Indonesia dapat tetap menjaga nilai-nilai
budaya dan jati diri bangsa sehingga tidak kehilangan kepribadian sebagai
bangsa Indonesia.
5. Ancaman Disintegrasi Bangsa
Ancaman dan gangguan terhadap
kedaulatan negara, keselamatan bangsa, dan keutuhan wilayah sangat terkait
dengan posisi geografis Indonesia, kekayaan alam yang melimpah, serta belum
tuntasnya pembangunan karakter bangsa, terutama pemahaman masalah
multikulturalisme yang telah berdampak munculnya gerakan separatis dan konflik
horisontal. Selain itu, belum meratanya hasil pembangunan antardaerah,
primordialisme yang tak terkendali, dan dampak negatif implementasi otonomi
daerah cenderung mengarah kepada terjadinya berbagai permasalahan di daerah.
6. Melemahnya Kemandirian Bangsa
Kemampuan bangsa yang berdaya saing
tinggi adalah kunci untuk membangun kemandirian bangsa. Daya saing yang tinggi,
akan menjadikan Indonesia siap menghadapi tantangan globalisasi dan mampu
memanfaatkan peluang yang ada. Kemandirian suatu bangsa tercermin, antara lain
pada ketersediaan sumber daya manusia yang berkualitas dan mampu memenuhi
tuntutan kebutuhan dan kemajuan pembangunan, kemandirian aparatur pemerintahan
dan aparatur penegak hukum dalam menjalankan tugasnya, pembiayaan pembangunan
yang bersumber dari dalam negeri yang semakin kukuh, dan kemampuan memenuhi
sendiri kebutuhan pokok. Namun hingga saat ini sikap ketergantungan masyarakat
dan bangsa Indonesia masih cukup tinggi terhadap bangsa lain. Konsekuensinya
bangsa Indonesia dalam berbagai aspek kurang memiliki posisi tawar yang kuat
sehingga tidak jarang menerima kehendak negara donor meskipun secara ekonomi kurang
menguntungkan. Kurangnya kemandirian, juga tercermin dari sikap masyarakat yang
menjadikan produk asing sebagai primadona, etos kerja yang masih perlu
ditingkatkan, serta produk bangsa Indonesia dalam beberapa bidang pertanian
belum kompetitif di dunia internasional.
Moment Hari pahlawan yang diilhami
dari peristiwa Perlawanan arek-arek Surabaya 10 Nopember 1945 ini sangat baik
untuk menumbuhkan kembali jiwa kepahlawanan yang rela berkorban, bekerja keras,
jujur, disiplin yang dapat membangun karakter bangsa yang akhir-akhir ini mulai
memudar sehingga bangsa Indonesia yang kita cintai ini menjadi bangsa yang
besar, mandiri, berkarakter dan pada akhirnya tercapainya cita-cita bangsa
yaitu terwujudnya kesejahteraan rakyat yang adil, makmur dan merata . Selamat Hari
Pahlawan …. Terimakasih Pahlawanku ….
www.awanputih43.blogspot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar