Refleksi Terhadap Perjuangan Arek-arek Surabaya 10 Nopember 1945



Bung Tomo
Refleksi Terhadap Perjuangan Arek-arek Surabaya 10 Nopember 1945 – Para pemuda berhasil memiliki senjata hasil rampasan dari tentara Jepang yang menyerah kepada sekutu. Pada tanggal 25 Oktober 1945, Brigade 49 dibawah pimpinan Brigadir Jendral AWS Mallaby mendarat di Surabaya. Mereka ditugaskan oleh panglima AFNEI untuk melucuti tentara Jepang dan menyelamatkan interniran Sekutu.

Pada tanggal 27 Oktober 1945 pukul 11.00 peawat terbang Inggris menyebarkan panflet yang berisi perintah agar rakyat Surabaya menyerahkan senjata yang dirampas dari Jepang.Isi pamflet ini menimbulkan kecurigaan sehingga  pemerintah memerintahkan kepada para pemuda untuk siaga menghadapi segala kemungkinan. Pada tanggal 27 Oktober 1945 ini terjadi kontak senjata yang pertama antara para pemuda dengan tentara Inggris. Kontak senjata ini meluas sehingga terjadi pertempuran pada tanggal 28,29 dan 30 Oktober 1945. Dalam pertempuran ini pasukan sekutu dapat dipukul mundur, beberapa obyek vital berhasil direbut kembali oleh para pemuda Surabaya.

Melihat kenyataan ini, Komandan sekutu menghubungi Presiden Soekarno untuk mendamaikan perselisihan antara bangsa Indonesia dengan pasukan Inggris di Surabaya. Pada tanggal 30 Oktober 1945 Bung Karno, Bung Hatta dan Amir Syarifuddin datang ke Surabaya untuk mendamaikan perselisihan itu. Perdaamaian berhasil dicapai tetapi setelah Bung Karno, Bung Hatta dan Amir Syarifuddin kembali ke Jakarta pertempuran tidak dapat dielakan lagi dan menyebabkan terbunuhnya Brigadir Jendral AWS Mallaby.


Serangan arek-arek Suroboyo mengakibatkan Brigjen Mallaby tewas di dalam mobil ini
 (sumber:http://id.wikipedia.org/wiki/ Peristiwa 10 November)
Melihat keadaan ini, Inggris mendatangkan bala bantuan dari Divisi V dibawah Mayor Jenderal Mansergh dengan 24.000 orang anak buahnya mendarat di Surabaya. Tanggal 9 Nopember 1945 Inggris mengeluarkan Ultimatum yang berisi ancaman bahwa Inggris akan mengempur kota Surabaya dari darat, laut dan udara apabila orang-orang Indonesia tidak mentaati perintah-perintah Inggris. Inggris juga mengeluarkan instruksi yang isinya “ … bahwa semua pemimpin bangsa Indonesia dari semua pihak di Surabaya harus datang selambat-lambatnya tanggal 10 Nopember 1945 pukul 06.00 pagi pada tempat yang telah ditentukan dengan membawa bendera Merah Putih yang diletakan diatas tanah pada jarak 100 meter dari tempat berdiri lalu mengangkat tangan tanda menyerah”.

Pertempuran 10 Nopember 1945 di Surabaya (sumber:http://www.jagatreview.com)
Ultimatum ini tidak ditaati oleh rakyat Indonesia di Surabaya. Pada tanggal 10 Nopember 1945 terjadi pertempuran dahsyat, rakyat Surabaya bertekat untuk membela kemerdekaan secara mati-matian. Kejadian ini merupakan sebuah lambang keberanian dan kebulatan tekat dalam mempertahankan kemerdekaan dan membela Tanah Air Indonesia dari segala bentuk penjajahan. Peristiwa 10 Nopember ini diperingati setiap tahun sebagai hari Pahlawan oleh seluruh bangsa Indonesia.

Peranan Bung Tomo dalam peristiwa 10 Nopember 1945

Di balik pertempuran dahsyat yang terjadi pada tanggal 10 Nopember 1945, ada sebuah nama yang mempunyai andil besar dalam memompa semangat, keberanian, dan rasa cinta tanah air khususnya kepada arek-arek Suroboyo. Dialah Sutomo atau biasa disebut Bung Tomo yang lahir di Surabaya pada tanggal 3 Oktober 1920.  Bung Tomo adalah seorang wartawan yang aktif menulis di beberapa surat kabar dan majalah, di antaranya: Harian Soeara Oemoem, Harian berbahasa Jawa Ekspres, Mingguan Pembela Rakyat, Majalah Poestaka Timoer, menjabat sebagai wakil pemimpin redaksi Kantor Berita pendudukan Jepang Domei, dan pemimpin redaksi Kantor Berita Antara di Surabaya. Beliau juga menjabat sebagai pucuk pimpinan Barisan Pemberontak Rakyat Indonesia (BPRI) – yang akhirnya dilebur ke dalam Tentara Nasional Indonesia. BPRI bertugas mendidik, melatih, dan mengirimkan kesatuan-kesatuan bersenjata ke seluruh wilayah tanah air. Di balik sederet jabatan yang diembannya Bung Tomo dikenal luas sebagai pribadi yang sederhana dan dekat dengan segala lapisan masyarakat termasuk kalangan bawah. Bung Tomo juga aktif berpidato yang disiarkan oleh Radio BPRI untuk mengobarkan semangat perjuangan yang selalu direlai oleh RRI di seluruh wilayah Indonesia. Isi pidato beliau begitu khas: heroik,  penuh semangat, berapi-api,  disampaikan dengan sorot mata tajam dan terbukti telah berhasil mengobarkan semangat arek-arek Suroboyo untuk mengangkat senjata tak kenal kata surut menghadapi lawan yang tangguh.

Berikut petikan pidato Bung Tomo yang sangat terkenal itu:
“Selama banteng-banteng Indonesia masih mempunyai darah merah yang dapat membikin secarik kain putih menjadi merah dan putih, maka selama itu tidak akan kita mau menyerah kepada siapapun juga. Kita tunjukken bahwa kita ini benar-benar orang-orang yang ingin merdeka. Dan untuk kita saudara-saudara, lebih baik hancur lebur daripada tidak merdeka. Semboyan kita tetap “Merdeka atau Mati”. Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar!! Merdeka!!”

Refleksi Terhadap Perjuangan Arek-arek Surabaya 10 Nopember 1945

Sudah 68 tahun yang lalu peristiwa heroik yang ditunjukan arek-arek Surabaya terjadi, sungguh merupakan suatu jiwa kepahlawanan yang luar biasa yang sampai hari ini kita selalu mengenangnya sebagai hari pahlawan. Jiwa rela berkorban, berjuang demi kejayaan bangsa dan negara Indonesia yang akhir-akhir ini mulai memudar di kalangan masyarakat bangsa kita, kondisi bangsa kita saat ini sudah jauh dari cita-cita para pejuang yang susah payah mengusir penjajah untuk mempertahankan kemerdekaan. Bangsa Indonesia kini didera dengan permasalahan-permasalahan kebangsaan antara lain :

1. Disorientasi dan belum Dihayatinya Nilai-nilai Pancasila sebagai Filosofi dan Ideologi Bangsa
Pancasila sebagai kristalisasi nilai-nilai kehidupan masyarakat yang bersumber dari budaya Indonesia telah menjadi ideologi dan pandangan hidup. Pancasila sebagaimana tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 merupakan ideologi negara dan sebagai dasar negara.Pancasila sebagai pandangan hidup mengandung makna bahwa hakikat hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dijiwai oleh moral dan etika yang dimanifestasikan dalam sikap perilaku dan kepribadian manusia Indonesia yang proporsional baik dalam hubungan manusia dengan yang maha pencipta, dan hubungan antara manusia dengan manusia, serta hubungan antara manusia dengan lingkungannya. Namun dalam kehidupan masyarakat prinsip tersebut tampak belum terlaksana dengan baik. Kekerasan (domestik maupun nasional) dan hempasan globalisasi sampai kepada korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) masih belum dapat diatasi.

Masalah tersebut muncul karena telah terjadi disorientasi dan belum dihayatinya nilai-nilai Pancasila yang diakui kebenarannya secara universal. Pancasila sebagai sumber karakter bangsa yang dimaksudkan adalah keseluruhan sifat yang mencakup perilaku, kebiasaan, kesukaan, kemampuan, bakat, potensi, nilai-nilai, dan pola pikir yang dimiliki oleh sekelompok manusia yang mau bersatu, merasa dirinya bersatu, memiliki kesamaan nasib, asal, keturunan, bahasa, adat dan sejarah Indonesia.

2. Keterbatasan Perangkat Kebijakan Terpadu dalam Mewujudkan Nilai-nilai Esensi Pancasila
Substansi hukum, baik hukum tertulis maupun hukum tidak tertulis sudah tertuang secara implisit maupun eksplisit dalam produk-produk hukum yang ada. Substansi hukum mengarah pada pemenuhan kebutuhan pembangunan dan aspirasi masyarakat, terutama dalam pemenuhan rasa keadilan di depan hukum. Namun demikian berbagai kebijakan dan produk hukum tersebut masih belum sepenuhnya dapat mengakomodasi kebutuhan untuk mewujudkan nilai-nilai esensi Pancasila sebagai landasan dalam kehidupan masyarakat, berbangsa dan bernegara. Akibatnya, maka penanaman nilai-nilai Pancasila sebagai wahana dan sarana membangun karakter bangsa, meningkatkan komitmen terhadap NKRI serta menumbuhkembangkan etika kehidupan berbangsa bagi seluruh rakyat Indonesia belum optimal. Oleh karena itu, pewujudan nilai-nilai esensi Pancasila pada semua lapisan masyarakat Indonesia perlu didukung perangkat kebijakan terpadu.

3. Bergesernya Nilai-nilai Etika dalam Kehidupan Berbangsa dan Bernegara
Pembangunan nasional dalam segala bidang yang telah dilaksanakan selama ini memang mengalami berbagai kemajuan. Namun, di tengah-tengah kemajuan tersebut terdapat dampak negatif, yaitu terjadinya pergeseran terhadap nilai-nilai etika dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Pergeseran sistem nilai ini sangat nampak dalam kehidupan masyarakat dewasa ini, seperti penghargaan terhadap nilai budaya dan bahasa, nilai solidaritas sosial, musyawarah mufakat, kekeluargaan, sopan santun, kejujuran, rasa malu dan rasa cinta tanah air dirasakan semakin memudar. Perilaku korupsi masih banyak terjadi, identitas ke-"kami"-an cenderung ditonjolkan dan mengalahkan identitas ke-"kita"-an, kepentingan kelompok, dan golongan seakan masih menjadi prioritas. Ruang publik yang terbuka dimanfaatkan dan dijadikan sebagai ruang pelampiasan kemarahan dan amuk massa. Benturan dan kekerasan masih saja terjadi di mana-mana dan memberi kesan seakan-akan bangsa Indonesia sedang mengalami krisis moral sosial yang berkepanjangan. Banyak penyelesaian masalah yang cenderung diakhiri dengan tindakan anarkis. Aksi demontrasi mahasiswa dan masyarakat seringkali melewati batas-batas ketentuan, merusak lingkungan, bahkan merobek dan membakar lambang-lambang Negara yang seharusnya dijunjung dan dihormati. Hal tersebut, menegaskan bahwa telah terjadi pergeseran nilai-nilai etika dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Bisa jadi kesemua itu disebabkan belum optimalnya upaya pembentukan karakter bangsa, kurangnnya keteladanan para pemimpin, lemahnya budaya patuh pada hukum, cepatnya penyerapan budaya global yang negatif dan ketidakmerataan kondisi sosial dan ekonomi masyarakat.

4. Memudarnya Kesadaran terhadap Nilai-nilai Budaya Bangsa
Pembangunan di bidang budaya telah mengalami kemajuan yang ditandai dengan meningkatnya pemahaman terhadap keberagaman nilai-nilai budaya bangsa. Namun arus budaya global yang sering dikaitkan dengan kemajuan di bidang komunikasi mencakup juga penyebaran informasi secara mendunia melalui media cetak dan elektronika berdampak tehadap ideologi, agama, budaya dan nilai-nilai yang dianut manyarakat Indonesia. Pengaruh arus deras budaya global yang negatif menyebabkan kesadaran terhadap nilai-nilai budaya bangsa dirasakan semakin memudar. Hal ini tercermin dari perilaku masyarakat Indonesia yang lebih menghargai budaya asing dibandingkan budaya bangsa, baik dalam cara berpakaian, bertutur kata, pergaulan bebas, dan pola hidup konsumtif, serta kurangnya penghargaan terhadap produk dalam negeri.

Berdasarkan indikasi di atas, globalisasi telah membawa perubahan terhadap pola berpikir dan bertindak masyarakat dan bangsa Indonesia, terutama masyarakat kalangan generasi muda yang cenderung mudah terpengaruh oleh nilai-nilai dan budaya luar yang tidak sesuai dengan kepribadian dan karakter bangsa Indonesia. Untuk itu, diperlukan upaya dan strategi yang tepat agar masyarakat Indonesia dapat tetap menjaga nilai-nilai budaya dan jati diri bangsa sehingga tidak kehilangan kepribadian sebagai bangsa Indonesia.

5. Ancaman Disintegrasi Bangsa
Ancaman dan gangguan terhadap kedaulatan negara, keselamatan bangsa, dan keutuhan wilayah sangat terkait dengan posisi geografis Indonesia, kekayaan alam yang melimpah, serta belum tuntasnya pembangunan karakter bangsa, terutama pemahaman masalah multikulturalisme yang telah berdampak munculnya gerakan separatis dan konflik horisontal. Selain itu, belum meratanya hasil pembangunan antardaerah, primordialisme yang tak terkendali, dan dampak negatif implementasi otonomi daerah cenderung mengarah kepada terjadinya berbagai permasalahan di daerah.

6. Melemahnya Kemandirian Bangsa
Kemampuan bangsa yang berdaya saing tinggi adalah kunci untuk membangun kemandirian bangsa. Daya saing yang tinggi, akan menjadikan Indonesia siap menghadapi tantangan globalisasi dan mampu memanfaatkan peluang yang ada. Kemandirian suatu bangsa tercermin, antara lain pada ketersediaan sumber daya manusia yang berkualitas dan mampu memenuhi tuntutan kebutuhan dan kemajuan pembangunan, kemandirian aparatur pemerintahan dan aparatur penegak hukum dalam menjalankan tugasnya, pembiayaan pembangunan yang bersumber dari dalam negeri yang semakin kukuh, dan kemampuan memenuhi sendiri kebutuhan pokok. Namun hingga saat ini sikap ketergantungan masyarakat dan bangsa Indonesia masih cukup tinggi terhadap bangsa lain. Konsekuensinya bangsa Indonesia dalam berbagai aspek kurang memiliki posisi tawar yang kuat sehingga tidak jarang menerima kehendak negara donor meskipun secara ekonomi kurang menguntungkan. Kurangnya kemandirian, juga tercermin dari sikap masyarakat yang menjadikan produk asing sebagai primadona, etos kerja yang masih perlu ditingkatkan, serta produk bangsa Indonesia dalam beberapa bidang pertanian belum kompetitif di dunia internasional.

Moment Hari pahlawan yang diilhami dari peristiwa Perlawanan arek-arek Surabaya 10 Nopember 1945 ini sangat baik untuk menumbuhkan kembali jiwa kepahlawanan yang rela berkorban, bekerja keras, jujur, disiplin yang dapat membangun karakter bangsa yang akhir-akhir ini mulai memudar sehingga bangsa Indonesia yang kita cintai ini menjadi bangsa yang besar, mandiri, berkarakter dan pada akhirnya tercapainya cita-cita bangsa yaitu terwujudnya kesejahteraan rakyat yang adil, makmur dan merata . Selamat Hari Pahlawan …. Terimakasih Pahlawanku ….

www.awanputih43.blogspot.com

Tidak ada komentar:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...