masuk dan berasal
dari mana Islam tersebut masuk. Mengenai kapan waktunya Islam masuk,
sebagian ahli berpendapat
bahwa Islam pertama-tama ke Nusantara
sudah sejak abad pertama hijriah
(atau abad ke-7 Masehi) dan sebagian lagi berpendapat bahwa Islam baru datang
pada abad ke-13 Masehi.
Ahli-ahli yang
berpendapat abad ke-7 Masehi, mendasarkan diri kepada berita
Cina dari zaman Dinasti Tang yang
menceritakan adanya orang-orang Ta-shih
yang mengurungkan niatnya untuk menyerang
Kerajaan Holing di bawah pimpinan Ratu Sima (674 M), karena ternyata
pemerintahan di Holing itu sangat kerasnya. Sebutan
Ta-shih dalam berita itu ditafsirkan sebagai orang-orang Arab. Pendapat lainnya didasarkan
atas pernyataan pengelana Cina I-tsing yang berkunjung ke Kerajaan Sriwijaya pada tahun 671.
Dia menyatakan bahwa pada waktu itu lalu-lintas laut antara Arab, Persia, India, dan Sriwijaya sangat
ramai. Lalu lintas laut yang ramai itu memperlihatkan peranan bangsa Arab dalam
perdagangan. Peran bangsa Arab dalam perdagangan itu menurut Arnold sudah ada
sejak abad ke-2 sebelum Masehi. Bangsa Arab menurutnya telah menguasai perdagangan
di Ceylon. Pendapat Arnold itu sejalan dengan pendapat Cooke
yang menyatakan bahwa sejak abad ke-2 sebelum Masehi pengaruh Arab sangat luas
sekali dalam perdagangan hingga ke Ceylon. Bila dikaitkan dengan konsep Arab
yang menyebutkan Al Hindi berarti
India dan pulau-pulau sebelah timurnya sampai ke Cina, maka
besar kemungkinan pedagang Arab
telah sampai ke Nusantara. Dengan
demikian berita Cina yang menyebutkan bahwa sudah ada
perkampungan Arab di pantai Barat
Sumatra dan di Kanton dapat
diterima kebenarannya. Demikian juga
bila kita lihat dari surat
menyurat yang terjadi antara raja Sriwijaya dengan khalifah Umar bin Abdul Aziz
(717-720) dimana isi suratnya
meminta agar mengirimkan mubaligh
untuk mengajarkan Islam ke Sriwijaya, maka adanya orang-orang Arab di Sumatra bukanlah
hal yang mengherankan.
Pada masa kemudian
sebutan Ta-shih itu juga kita dapatkan dari berita Jepang yang ditulis tidak
lebih dari tahun 748 M yang menceritakan perjalanan pendeta Kanshin.
Diceritakan pula pada masa itu bahwa di Kanton terdapat kapal-kapal Po-sse dan
Ta-shih Ku-o. Menurut Rita-Rose di Meglio istilah Po-sse dapat pula menunjukkan
jenis bangsa Melayu, tetapi Ta-shih hanya untuk menunjukkan orang-orang Arab
dan Persia,
bukan untuk
orang-orang Muslim India. Chau
Ju-Kau yang mengutip berita Chou ku-fei
tahun 1178 mengatakan bahwa tempat orang-orang Tas-Shih itu ada dua.
Sebuah nama yang dinamakan Fo-loan termasuk Sriwijaya. Menurut P. Wheatley, letak tempat tersebut adalah Kota Kuala
Brang, kurang lebih 25 mil dari Sungai Trengganu. Tempat yang kedua terletak di
Sumatera Selatan, karena dalam berita Chau Ju-Kua itu disebutkan bahwa koloni
Ta-shih itu dapat dicapai lima hari pelayaran
dari Cho-Po.
Adanya jalur
perdagangan utama dari Nusantara, terutama Sumatera dan
Jawa— dengan Cina
juga diakui oleh sejarahwan G. R.
Tibbetts . Bahkan Tibbetts-lah orang yang dengan tekun meneliti hubungan
perniagaan yang terjadi antara para pedagang dari Jazirah Arab dengan para
pedagang dari wilayah Asia Tenggara pada zaman pra Islam. Tibbetts
menemukan bukti-bukti adanya kontak dagang antara negeri Arab dengan Nusantara saat itu.
“Keadaan ini terjadi karena
kepulauan Nusantara telah menjadi tempat persinggahan kapal-kapal
pedagang Arab yang
berlayar ke negeri
Cina sejak abad kelima Masehi, ” tulis Tibbets. Jadi peta perdagangan saat itu
terutama di selatan adalah Arab-Nusantara-China. Sebuah dokumen kuno asal Tiongkok
juga menyebutkan bahwa menjelang seperempat tahun 700 M atau sekitar tahun 625
M, hanya berbeda 15 tahun setelah Rasulullah menerima wahyu pertama atau sembilan setengah tahun setelah Rasulullah
berdakwah terang-terangan kepada bangsa Arab, di sebuah pesisir pantai Sumatera
sudah ditemukan
sebuah perkampungan
Arab Muslim yang masih berada dalam kekuasaan wilayah Kerajaan Buddha
Sriwijaya.
Di perkampungan-perkampungan ini,
orang-orang Arab bermukim dan telah melakukan asimilasi dengan penduduk
pribumi dengan jalan menikahi perempuan-perempuan lokal secara damai. Mereka
sudah beranak–pinak di sana. Dari perkampungan-perkampungan ini mulai didirikan
tempat-tempat pengajian al-Qur’an dan pengajaran tentang Islam sebagai cikal
bakal madrasah dan pesantren, umumnya juga merupakan tempat beribadah (masjid).
Dari berbagai
literatur, diyakini bahwa kampung Islam di daerah pesisir Barat Pulau Sumatera
itu bernama Barus atau yang juga disebut Fansur. Kampung kecil ini merupakan
sebuah kampung kuno yang berada di antara kota Singkil dan Sibolga, sekitar 414
kilometer selatan Medan. Di zaman Sriwijaya, kota Barus masuk dalam wilayahnya.
Namun ketika Sriwijaya mengalami
kemunduran dan digantikan oleh Kerajaan Aceh Darussalam, Barus pun masuk dalam
wilayah Aceh. Sangat mungkin Barus merupakan kota tertua di Indonesia mengingat
dari seluruh kota di Nusantara, hanya Barus yang namanya sudah disebut-sebut
sejak awal Masehi oleh literatur-literatur Arab, India, Tamil, Yunani, Syiria,
Armenia, China, dan sebagainya. Sebuah peta kuno yang dibuat oleh Claudius Ptolomeus,
salah seorang Gubernur Kerajaan Yunani yang berpusat di Aleksandria Mesir, pada
abad ke-2 Masehi, juga telah menyebutkan bahwa di pesisir barat Sumatera
terdapat sebuah bandar niaga bernama Barousai
(Barus) yang dikenal menghasilkan wewangian dari kapur barus. Bahkan dikisahkan
pula bahwa kapur barus yang diolah dari kayu kamper dari kota itu telah dibawa
ke Mesir untuk dipergunakan bagi pembalseman mayat pada zaman kekuasaan Firaun
sejak Ramses II atau sekitar 5. 000 tahun sebelum Masehi. Barus juga dikenal
sebagai daerah awal masuknya agama Islam di Nusantara sekitar abad ke-7 Masehi.
Sebuah makam kuno di kompleks pemakaman
Mahligai, Barus, di batu nisannya tertulis Syekh Rukunuddin wafat tahun 672
Masehi. Ini memperkuat dugaan bahwa
komunitas Muslim di Barus sudah ada pada
era itu.
Di Barus dan
sekitarnya, banyak pedagang Islam yang terdiri dari orang Arab, Aceh, dan sebagainya
hidup dengan berkecukupan. Mereka memiliki kedudukan baik dan pengaruh cukup besar
di dalam masyarakat maupun pemerintah
(Kerajaan Buddha Sriwijaya). Bahkan kemudian ada juga yang ikut berkuasa di
sejumlah bandar. Mereka banyak yang bersahabat, juga berkeluarga dengan raja,
adipati, atau pembesar-pembesar Sriwijaya lainnya. Mereka sering pula menjadi penasehat
raja, adipati, atau penguasa setempat. Makin lama makin banyak pula penduduk
setempat yang memeluk Islam. Bahkan ada pula raja, adipati, atau penguasa
setempat yang akhirnya masuk Islam.
Sejarahwan T. W. Arnold
dalam karyanya “The Preaching of Islam” (1968) juga menguatkan temuan bahwa
agama Islam telah dibawa oleh mubaligh-mubaligh
Islam asal Jazirah Arab ke Nusantara sejak awal abad ke-7 M. Setelah abad ke-7
M, Islam mulai berkembang di kawasan ini, misal, menurut laporan sejarah negeri Tiongkok bahwa
pada tahun 977 M, seorang duta Islam bernama
Pu Ali (Abu Ali) diketahui telah mengunjungi negeri
Tiongkok mewakili sebuah
negeri di Nusantara Bukti lainnya, di daerah Leran, Gresik, Jawa
Timur, sebuah batu nisan kepunyaan seorang Muslimah bernama Fatimah binti
Maimun berangka tahun 1082 M telah ditemukan. Penemuan ini membuktikan bahwa
Islam telah merambah Jawa Timur di abad ke-11 M.
Sebagian ahli lain
yang berpendapat bahwa masuknya Islam ke Nusantara abad ke-13 itu berdasarkan
atas keruntuhan Dinasti Abbasiyah oleh
Hulagu tahun 1258. Kemudian diperkuat pula oleh bukti berita Marcopolo
tahun 1292 M, berita Ibnu Batuta abad ke-14 serta nisan-nisan kubur Sutan Malik as-Saleh tahun1297M.IbnuBatuta
ketika mengunjungi Samudra Pasai pada tahun 1345 mengatakan bahwa raja yang memerintah Negara itu memakai
gelar Islam, yakni Malikut Thahir bin Malik Al Saleh. Laporan lainnya berasal dari seorang pengelana
Portugis bernama Tome Pires, yang mengunjungi Nusantara pada awal abad
ke-16. Dalam karyanya yang berjudul
Summa Oriental , ia menjelaskan bahwa menjelang abad ke-13 sudah ada
masyarakat muslim di Samudra Pasai, Perlak, dan Palembang. Dukungan terhadap
masuknya Islam pada abad ke-13 dikemukakan pula oleh A.H. John . Menurut John para
sufilah yang melakukan pengislaman sejumlah besar penduduk Nusantara, bukan
para pedagang. Hal itu karena kemampuan para sufi menyajikan Islam dalam
kemasan yang menarik terutama kemampuan mereka menggunakan unsur-unsur kebudayaan
pra-Islam.
Dalam memahami
perbedaan pendapat tersebut,
nampaknya kita perlu
memperhatikan pendapat Noorduyn tentang Islamisasi di Nusantara. Menurutnya
Islamisasi dapat dibedakan atas tahap kedatangan, tahap
penerimaan dan
tahap penyebaran. Tahap kedatangan berarti ketika datangnya orang-orang Islam
pertama kalinya pada suatu daerah. Pada tahap itu penduduk setempat belum
memeluk agama Islam. Tahap penerimaan yaitu ketika penduduk pada suatu daerah
telah memeluk agama Islam. Pada tahap penerimaan itu ada dua pola yang terjadi.
Pertama, top down yaitu ketika dalam
penerimaan itu yang berperan aktif adalah penguasa setempat atau elite
penguasa. Dari elite penguasa kemuadian
baru berkembang
dalam kehidupan masyarakat. Kedua,
bottom up yaitu ketika Islam
diterima oleh masyarakat lapisan bawah dan kemudian berkembang di kalangan
elite penguasa. Sedangkan tahap penyebaran adalah suatu tahap dimana Islam
disebarkan keluar dari daerah pertama kali Islam diterima. Pada tahap penyebaran
itu umumnya dilakukan dengan cara
mengirim utusan ke daerah-daerah yang belum Islam.
Abad ke-7 Masehi
boleh jadi dapat dipandang sebagai abad permulaan kedatangan
pedagang-pedagang muslim
dengan sebagian kecil daerah dan bangsa
Nusantara. Hal itu sesuai pula dengan hubungan pelayaran dan perdagangan dengan
negeri-negeri di Benua Asia bagian Timur dan Tenggara melalui beberapa tempat
pelabuhan yang terletak di pesisir Selatan Malaka yang justru pada abad ke-7
dan 8 ada di bawah
pengawasan
Sriwijaya. Kedatangan orang-orang muslim itu belum dapat dipastikan apakah mereka
disamping berhubungan dagang dengan bangsa Nusantara, juga telah melakukan
Islamisasi melalui dakwah atau tidak. Apabila sejak abad tersebut proses
Islamisasi telah meluas maka anehnya baru 5 atau 6 abad kemudian kita ketahui
munculnya bentuk kerajaan yang bercorak Islam yakni Samudera Pasai.
Sehubungan dengan
dari mana asal datangnya Islam ke Nusantara juga terdapat perdebatan di antara
para ahli. Paling tidak ada tiga pandangan yaitu berasal dari India, Arab dan
Persia. Ahli yang berpendapat Islam berasal dari India antara lain Pijnappel, Snouck Hurgronye, Moquette, Fatimi,
Wintedt . Pendapat bahwa Islam berasal dari India berawal dari pandangan Pijnappel
yang menyatakan orang-orang Arab bermazhab Syafi’i yang bermigrasi ke
wilayah India kemudian membawa Islam ke Nusantara. Pendapat itu didukung oleh Snouck
Hurgronje yang menyatakan bahwa pemeluk Islam Deccan merupakan pedagang
perantara dari Timur Tengah ke Nusantara
yang menyebarkan Islam pertama kalinya. Setelah itu baru disusul oleh
orang-orang Arab. Pendapat Islam berasal dari India itu secara lebih spesifk
dikemukakan oleh Moquette. Ia menjelaskan
bahwa Islam berasal dari Gujarat
berdasarkan pada bentuk batu nisan yang terdapat di Pasai dan batu nisan di
Gresik ternyata sama bentuknya dengan batu nisan yang terdapat di Gujarat. Apa
yang dikemukakan Moquette itu didukung oleh Wintedt. Wintedt menyatakan bahwa batu nisan di Barus, Pasai
dan Gresik didatangkan dari Gujarat dan karena itu Islam berasal dari
Gujarat. Schrieke juga mendukung pendapat tersebut dengan
menyatakan pentingnya peranan pedagang Muslim Gujarat dalam perdagangan di
Nusantara dan karena itu mereka punya andil menyebarkan Islam di Nusantara.
Pendapat bahwa Islam berasal dari Gujarat mendapat tantangan dari Fatimi .
Menurut Fatimi Islam masuk ke
Nusantara berasal dari Bengal.
Pendapatnya itu didasarkan kepada bentuk dan gaya batu nisan Malik Al Shaleh
yang berbeda dengan yang terdapat di Gujarat. Bentuk dan gaya batu nisan malik
Al Shaleh lebih mirip dengan bentuk batu nisan yang terdapat di Bengal. Tetapi
pendapat Fatimi itu tidak begitu tepat kalau melihat bahwa mazhab Islam yang
berkembang di Bengal adalah mazhab Hanafi. Sementara di Nusantara mazhab yang
berkembang adalah mazhab Syafi’i.
Pendapat yang
mengatakan bahwa Islam berasal dari India tersebut mendapat tantangan dari Marrison . Menurutnya Islam di Nusantara berasal
dari pantai Coromandel sebab pada tahun 1297 Gujarat masih kerajaan Hindu.
Gujarat ditaklukkan kekuasaan Islam baru terjadi pada tahun 1298. Padahal makam
Malik Al Shaleh, raja pertama Samudera Pasai berangka tahun 1297. Tidak mungkin
Islam berasal dari Gujarat. Pendapat Marrison itu mendapat dukungan dari Arnold
yang menyatakan adanya persamaan mazhab yang terdapat di Coromandel dan Malabar
dengan mazhab yang terdapat di Nusantara yaitu mazhab Syafi’i.
Arnold juga punya
pandangan bahwa Islam di Nusantara berasal dari Arab. Sebab pedagang-pedagang
Arab mempunyai peran penting dalam perdagangan antara Barat dan Timur pada
abad`ke-7 dan ke-8. Apa yang dikemukakan Arnold itu sejalan dengan
pandangan Keijzer yang menyatakan Islam di Nusantara berasal dari Mesir karena adanya persamaan
Mazhab yaitu Mazhab Syafi’i. Begitu juga pendapat dari Niemann dan de
Hollander yang berpendapat bahwa Islam
Nusantara berasal dari Hadhramawt. Pendapat bahwa Islam berasal dari Arab juga mendapat
dukungan dari Naquib Al-Attas. Ia berpendapat demikian karena literatur Islam
sebelum abad ke-17 tidak menunjukkan adanya karya pengarang Muslim India.
Pandangan lain
mengenai asal Islam masuk ke Nusantara dikemukakan oleh Hoesein Djajadiningrat
. Ia mendasarkan pendapatnya pada kebudayaan yang hidup di kalangan masyarakat.
Menurut Hoesein ada persamaan kebudayaan antara Islam di Nusantara dengan Islam
di Persia. Alasan yang disampaikannya
adalah pertama, adanya acara peringatan 10 Muharram atau Asyura sebagai hari
peringatan atas kematian Husain. Sebagaimana
kita ketahui kematian Husain bagi umat Islam Persia selalu diperingati sebagai hari yang penting bagi
pengikut Syi’ah. Kedua, adanya kesamaan
antara ajaran Syeikh Siti Jenar dengan ajaran sufi Persia Al- Hallaj. Ketiga,
penggunaan istilah bahasa Persia dalam sistem pengejaan huruf Arab seperti
istilah jabar, jer, p’es. Terakhir, nama kampung Leren di Giri Gresik merupakan nama salah satu suku
yang tedapat di Persia.
Berkaitan dengan
proses Islamisasi tersebut peran para wali terutama untuk pulau Jawa sangat penting sekali.Para
wali yang terkenal di Jawa dikenal dengan sebutan Wali Songo. Para wali
tersebut sebahagian besarnya menurut
Slamet Mulyana merupakan
keturunan Cina. Adapun nama-nama Wali Songo tersebut adalah Maulana Malik Ibrahim, Sunan Ampel, Sunan
Bonang, Sunan Giri, Sunan Drajat, Sunan Kalijaga, Sunan Kudus, Sunan Muria dan
Sunan Gunung Jati . Para wali tersebut
mempunyai hubungan
antara satu dengan yang lain. Maulana Malik Ibrahim merupakan yang tertua di antara
mereka. Sunan Ampel anak Maulana Malik Ibrahim, Sunan Giri merupakan keponakan
Maulana Malik Ibrahim. Sunan Bonang dan Sunan Drajat adalah anak Sunan Ampel. Sementara Sunan Kalijaga merupakan murid Sunan
Bonang dan menantu Sunan Ampel. Sunan Muria merupakan anak Sunan Kalijaga,
Sunan Kudus
merupakan murid dari Sunan Kalijaga. Hanya Sunan Gunung Jati yang statusnya
sebagai sahabat para wali tersebut. Selain tokoh Wali Songo ada wali-wali
lainnya. Salah satunya yang akhirnya dihukum mati adalah Syeik Siti Jenar . Ada beberapa peran para
wali. Selain sebagai pendakwah yang menyebarkan ajaran
Islam dengan karakteristik
dan cirri-ciri mereka masing-masing, wali juga berperan
sebagai penasehat
raja dan sebagai alat tempat legitimasi kekuasaan.
Terlepas dari
berbagai teori yang berkembang mengenai Islamisasi di Nusantara dalam kenyataan
menunjukkan bahwa di Nusantara pada abad ke-13 Islam sudah berkembang pesat
dalam kehidupan masyarakat. Perkembangan
pesat agama Islam ini ditandai dengan berdirinya kesultanan/kerajaan Islam. Kerajaan-kerajaan
Islam yang tumbuh di Nusantara seperti Samudera Pasai, Malaka, Aceh, Demak,
Pajang, Mataram, Cirebon, Banten, Makasar, Ternate, dan Tidore.
www.awanputih43.blogspot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar