KOMPETENSI DASAR :
3.4 |
Menganalisis perkembangan kehidupan politik dan ekonomi Bangsa Indonesia pada masa Demokrasi Terpimpin. |
4.4 |
Melakukan penelitian
sederhana tentang kehidupan politik dan ekonomi Bangsa Indonesia pada masa
Demokrasi Terpimpin dan menyajikannya dalam bentuk laporan tertulis |
DEMOKRASI TERPIMPIN
Kehidupan sosial
politik Indonesia pada
masa Demokrasi Liberal
(1950-
1959)
belum pernah mencapai kestabilan secara nasional. Kabinet yang silih berganti
membuat program kerja
kabinet tidak dapat
dijalankan sebagaimana mestinya.
Partai-partai politik
saling bersaing dan saling
menjatuhkan. Mereka lebih
mengutamakan
kepentingan kelompok masing-masing. Di
sisi lain, Dewan
Konstituante yang
dibentuk melalui Pemilihan Umum 1955 tidak berhasil menyelesaikan
tugasnya menyusun UUD baru bagi Republik Indonesia. Kondisi tersebut membuat
presiden Soekarno berkeinginan untuk menyederhanakan partai politik yang ada
dan membentuk kabinet yang berintikan 4 partai yang menang dalam Pemilu 1955.
Untuk mewujudkan keinginannya tersebut,
pada tanggal 21Februari 1957, dihadapan para tokoh politik dan tokoh militer
menawarkan konsepsinya untuk
menyelesaikan dan mengatasi krisis-krisis kewibawaaan pemerintah yang terlihat dari
jatuh bangunnya kabinet.
Presiden Soekarno
Lebih
jauh Presiden Soekarno menekankan bahwa Demokrasi Liberal merupakan demokrasi
impor yang tidak sesuai dengan jiwa dan semangat Bangsa Indonesia. Untuk itu ia
menggantikan dengan suatu demokrasi yang sesuai kepribadian Bangsa Indonesia
yaitu Demokrasi Terpimpin. Pokok-pokok pemikiran yang terkandung dalam konsepsi
presiden 1957 sebagai berikut :
1.
Pemberlakukan sistem Demokrasi
terpimpin yang didukung oleh kekuatan politik yang mencerminkan aspirasi
masyarakat secara seimbang. Langkah ini dilakukan untuk memperbarui struktur
politik bangsa Indonesia.
2.
Pembentukan Kabinet Gotong royong
berdasarkan perimbangan kekuatan
masyarakat. Kabinet tersebut terdiri atas wakil-wakil partai politik dan
kekuatan politik yang disebut golongan karya.
Upaya
untuk menuju Demokrasi Terpimpin telah dirintis oleh Presiden Soekarno sebelum
dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959. langkah pertama adalah Pada 6 Mei
1957 Presiden Soekarno membentuk Dewan Nasional sebagai langkah pertama untuk
mewujudkan Konsepsi Presiden 1957. Melalui panitia perumus Dewan Nasional,
muncul usulan secara tertulis oleh kepala Staf Angkatan Darat Mayor Jenderal
A.H Nasution kepada Presiden Soekarno tentang pemberlakuan kembali UUD 1945
sebagai landasan Demokrasi Terpimpin. Usulan Nasution kurang didukung oleh
wakil-wakil partai di dalam Dewan Nasional yang cenderung mempertahankann UUDS
1950.
Atas
Desakan Nasution akhirnya presiden Soekarno menyetujui untuk kembali ke UUD 45.
Presiden Soekarno mengeluarkan suatu keputusan pada 19 Februari tentang
pelaksanaan Demokrasi terpimpin dalam rangka kembali ke UUD 1945. Keputusan ini
kemudian disampaikan Soekarno di hadapan anggota DPR Pada 2 Maret 1959. Karena
yang berwenang menetapkan
UUD adalah Dewan konstituante, maka
dalam sidang konstitusi tanggal 22 April 1959 presiden
Soekarno meminta konstitante menetapkan kembali UUD 1945 apa
adanya tanpa perubahan dan menetapkannya sebagai konstitusi Negara yang
tetap. Usulan presiden Soekarno
tersebut kemudian ditindaklanjuti dengan pemungutan suara. Akan tetapi,
hingga tiga kali pemungutan suara, anggota konstituante gagal menyepakati
konstitusi Negara.. Pada 3 Juni 1959 sidang dewan konstituante memasuki masa
reses dimana beberapa fraksi dalam dewan konstituante menyatakan tidak akan
menghadiri sidang kecuali untuk membubarkan kostitaunte. Kondisi
ini membuat situasi
politik menjadi sangat
genting, konflik politik antar
partai semakin panas dan melibatkan masyarakat didalamnya ditambah munculnya
beberapa pemberontakan di daerah yang mengancam kesatuan NKRI.
Untuk
mencegah munculnya ekses ekses politik sebagai akibat ditolaknya usulan
pemerintah kembali ke UUD 45 oleh dewan konstituante, Kepala Staf Angakata
Darat (KSAD) selaku Penguasa Perang Pusat (Peperpu), A. H. Nasution
mengeluarkan PEPERPU/040/1959 atas nama pemerintah yang berisi larangan adanya
kegiatan politik, termasuk menunda semua sidang Dewan Konstituante yang berlaku
mulai 3 Juni 1959 pukul 06.00 Pagi. KSAD dan ketua Umum PNI, Suwiryo
menyarankan kepada Presiden Soekarno untuk mengumumkan kembli berlakunya UUD 45
dengan suatu Dekrit Presiden. Pada tanggal 3 Juli 1959, Presiden Soekarno
mengadakan pertemuan dengan dewan DPR Sartono, Perdana Menteri Djuanda, dan
anggota Dewan nasional (Roeslan Abdoel Gani, dan Muh. Yamin), serta ketua
Makamah Agung, Mr. Wirjono Prodjodikoro untuk menyepakati diberlakukannya
kembali UUD 1945 sebagai konstitusi Negara tanpa persetujuan konsituante.
Pertemuan tersebut dilanjutkan dengan pidato singkat Presiden Soekarno yang
dikenal dengan Dekret Presiden 5 Juli 1959 yang berisi tiga ketentuan pokok
yaitu :
1.
Pembubaran konstituante
2.
Tidak berlakunya UUDS 1950 dan
berlakunya kembali UUD 1945
3.
Pembentukan Majelis Permusyawaratan
Rakyat Sementara (MPRS) yang terdiri atas anggota DPR ditambah utusan daerah
dan golongan serta Dewan pertimbangan Agung Sementara (DPAS).
Dekrit
Presiden 5 Juli 1959 merupakan jembatan politik dari era Demokrasi
Liberal
menuju era demokrasi Terpimpin.
Dekrit Presiden 1959
Dekrit
Presiden 5 Juli 1959 mendapat sambutan baik dari masyarakat yang hampir selama
10 tahun merasakan ketidakstabilan kehidupan sosila politik. Dekret juga
didukung oleh TNI dan dua partai besar, PNI dan PKI serta mahkamah Agung.
bahkan KSAD, salah satu konseptor Dekrit, megeluarkan perintah harian kepada
seluruh jajaran TNI AD untuk melaksanakan dan mengamankan Dekrit Presiden. Dukungan
lain kemudian datang Dari DPR
yang secara aklamasi menetapkan bersedia bekerja terus dibawah naungan UUD 1945.
Melalui Dekrit Presiden, Konsep Demokrasi terpimpin yang dirumuskan Presiden
Soekarno melalui konsep 1957 direalisasikan melalui Staatnoodrecht, hukum
negara dalam bahaya perang. Sehari setelah Dekret presiden 5 Juli 1959, perdana
menteri Djuanda mengembalikan mandat kepada Presiden Soekarno dan kabinet karya
pun dibubarkan.
Tanggal
10 Juli 1959 Presiden Soekarno membentuk cabinet baru yang dinamakan kabinet
kerja yang dipimpin langsung oleh Soekarno sebagai Perdana Menteri, sedangkan
Djuanda bertindak sebagai menteri pertama dengan dua wakilnya yaitu J. Leimena
dan Subandrio. Kabinet kerja terdiri dari Sembilan menteri dan 24 menteri muda
sedangkan KSAD, angkatan Udara, Angkatan laut, Kepolisian, dan jaksa Agung
diangkat sebagai menteri Negara ex officio. Untuk mengurangi pengaruh
kepentingan partai politik maka tidak satupun menteri dalam kabinet yang
berasal dari ketua umum partai politik sehingga untuk memberikan tekanan pada
sifat nonpartai, beberapa menteri keluar dari partainya seperti Subandrio (PNI)
dan J.Leimena (Partai Kristen Indonesia).
Program
kabinet meliputi penyelengaraan keamanan dalam negeri, pembebasan Irian barat, dan
melengkapi sandang pangan rakyat. Kabinet kerja terdiri atas lembaga Yudikatif,
jaksa Agung, Ketua mahkamah Agung, serta lembaga yang meliputi wakil ketua MPRS
dan Ketua DPR-GR sehingga seorang pejabat dapat memangku jabatan pada dua
bidang pemerintahan yang berbeda yaitu memegang jabatan lembaga legislatife
atau yudikatif dengan status eksekutif. Sistem ini meninggalkan konsep Trias
politica sekaligus menyipang dari prinsip-prinsip demokrasi. Langkah ini
mendapat tentangan dari tokoh-tokoh partai politik tetapi tidak dihiraukan oleh
Presiden Soekarno. Pembentukan kabinet kemudian diikuti Pembentukan dewan
Pertimbangan Agung Sementara
(DPAS) berdasarkan Penetapan
Presiden Nomor 3 tahun 1955 tertanggal 22 Juli 1959 yang langsung diketuai oleh
Presiden Soekarno dengan Roeslan Abdulgani sebagai wakil ketua.
DPAS
bertugas menjawab pertanyaan presiden dan berhak mengajukan usul kepada
pemerintah. 17 Agustus 1959 Presiden Soekarno dalam pidato kenegaran untuk
merayakan ulang tahun kemerdekaan dengan lantang menjelaskan dasar dikeluarkannya
Dekret Presiden 5 Juli 1959 serta garis kebijakan presiden Soekarno dalam
mengenalkan Demokrasi terpimpin. Presiden Soekarno menguraikan ideologi Demokrasi Terpimpin yang isinya mencakup revolusi,
gotong royong, demokrasi, anti imperialisme-kapilatalisme, anti demokrasi
Liberal, dan perubahan secara total. Pidato ini berjudul “penemuan Kembali
Revolusi Kita”. DPAS menetapkan pidato Presiden Soekarno menjadi GBHN dengan
judul Manifesto Politik Republik Indonesia yang disingkat Manipol yang isinya
berintikan USDEK (Undang-Undang Dasar 1945, Sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin,
Ekonomi Terpimpin dan Kepribadian
Indonesia). 31 Desember 1959, Presiden Soekarno membentuk MPRS yang dilandasi
oleh penetapan Presiden Nomor 2 tahun 1959 dibawah pimpinan Chairul Saleh.
Anggota MPRS dipilih dan diangkat langsung oleh Presiden Soekarno. Pengangkatan
ini bertentangan dengan UUD 1945 yang menyatakan bahwa anggota MPR dipilih
melalui Pemilu. Tokoh-tokoh yang diangkat sebagai anggota MPRS harus memenuhi
beberap persyaratan yaitu:
1. Setuju kembali ke UUD 1945
2. Setia pada perjuangan Bangsa Indonesia
3. Setuju dengan Manipol.
Fungsi
dan tugas MPRS tidak diatur berdasarkan UUD 45 tetapi berdasarkan ketetapan
Presiden Soekarno Nomor 2 tahun 1959 sehingga fungsi dan tugas MPRS hanya
menetapkan GBHN. Semetara itu, untuk DPR hasil pemilu 1955 tetap menjalankan
tugasnya dengan landasan UUd 45 dengan syarat menyetujui segala perombakan yang
diajukan pemerintah sampai dibentuknya DPR baru berdasarkan Penetapan Presiden
No. 1/1959. Pada awalnya DPR lama seperti akan mengikuti apa saja yang akan
menjadi kebijakan Presiden Soekarno, hal ini ketika secara aklamasi dalam
sidang 22 Juli 1959 menyetujui Dekret Presiden 1959. Akan tetapi benih konflik
mulai timbul ketika Sartono selaku ketua DPR menyarankan kepada Presiden untuk
meminta mandat kepada DPR untuk melakukan perombakan struktur kenegaraan sesuai
dengan UUD 1945 dan untuk melaksanakan program kabinet. Bahkan Sartono
menyakinkan bahwa mandat tersebut pasti akan diberikan,namun presiden Seokarno
menolak, ia hanya akan datang ke DPR untuk menjelaskan perubahan konstitusi dan
lain-lain, bukan untuk meminta mandat.
Hal ini presiden tidak mau terikat dengan DPR.
Konflik
terbuka antara presiden akhirnya terjadi ketika DPR menolak rencana Anggaran
Belanja Negara tahun 1960 yang diajukan pemerintah. Penolakkan tersebut mambawa
dampak pembubaran DPR pada tanggal 5 maret 1960 oleh Presiden. Presiden membentuk
DPR-Gotong Royong (DPR GR). Para anggota yang ditunjuk Presiden tidak
berdasarkan perimbangan kekuatan partai politik, namun lebih berdasarkan perimbangan
lima golongan, yaitu Nasionalis, Islam, Komunis, Kristen-Katolik, dan golongan
Fungsional. Sehingga dalam DPR-GR terdiri atas dua kelompok besar yaitu wakil
partai dan golongan fungsional (karya) dengna perbandingan 130 wakil partai dan
153 golongan fungsional. Pelantikan DPR-GR dilaksanakan pada 25 Juni 1960 dengn
tugas pokok pelaksanaan Manipol, merealisasikan amnaat penderitaan rakyat dan
melaksanakan demokrasi terpimpin.
Kedudukan
DPR-GR adalah pembantu Presiden/Mandataris MPR dan memberikan sumbangan tenaga
kepada Pressiden untuk melakssanakan segala sesuatu yang telah ditetapkan MPR.
Pembubaran DPR hasil Pemilu pada awalnya memunculkan reaksi dari berbagai
pihak, antara lain dari pimpinan NU dan PNI yang mengancam akan menarik
pencalonan anggotanya untuk DPR-GR. Akan tetap sikap ini berubah setelah jatah
kursi NU dalam DPRGR ditambah. Namun K.H. Wahab Chasbullah, Rais Aam NU,
menyatakan bahwa NU tidak bisa duduk bersama PKI dalam suatu kabinet dan NU
sesungguhnya menolak kabinet Nasakom dan menolak kerjasama dengan PKI.
Tokoh
PNI yaitu Mr. Sartono dan Mr. Iskaq Tjokroadisurjo merasa prihatin terhadap
perkembangan yang ada, bahkan Ishaq menyatakan bahwa anggota PNI yang duduk
dalam DPR-GR bukanlah wakil PNI, sebab mereka adalah hasil dari penunjukkan.
Sikap tokoh partai yang menolak DPR-GR bergabung dalam kelompok Liga Demokrasi.
Tokoh yang terlibat dalam Liga Demokrasi ini meliputi tokoh partai NU, Masyumi,
Partai katolik, Parkindo, IPKI, dan PSII danbeberap panglima daerah yang
memberikan dukungan. Liga Demokrasi mengusulkan untuk penangguhann DPR-GR. Liga
ini kemudian dibubarkan oleh Presiden.
Tindakan
Presiden Seokarno lainnya dalam menegakkan Demokrasi Terpimpin adalah membentuk
Front Nasional yaitu organisasi masa yang bertugas memperjuangkan cita-cita
proklamasi dan cita-cita yang
terkandung dalam UUD 1945. Lembaga baru ini dibentuk
berdasarkan Penetapan Presiden Nomor 13 tahun 1959. Front ini diketuai oleh
PResiden Soekarno. Langkah Presiden Seokarno lainya adalah melakukan regrouping
kabinet berdasarkan Ketetapan Presiden no 94 tahun1962 tentang penginterasian
lembaga-lembaga tinggi dan tertinggi dengan eksekutif.
MPRS,
DPR-GR, DPA, mahkamah Agung, dan dewan Perancang Nasional dipimpin langsung
oleh Presiden . Proses integrasi lembaga-lembaga Negara menyebabkan kedudukan
pimpinan lembaga tersebut diangkat menjadi menteri dan berhak ikut serta dalam
sidang-sidang kabinet tertentu dan juga ikut merumuskan dan mengamankan
kebijaka pemerintah pada lembaganya masing-masing. Selain itu presiden juga
membentuk suatau lembaga baru yang bernama Musyawarah Pembantu Pimpinan
Revolusi (MPRS) berdasarkan ketetapan Presiden N0. 4/1962. MPPRS merupakan
badan pembatu pemimpin Besar Revolusi (PBR) dalam mengambil kebijakan khusus
dan darurat untuk menyelesaikan revolusi.
Keanggotan
MPPRS meliputi sejumlah menteri yang mewakili MPRS, DPR-GR,
Departemen-departemen, angkatan dan para pemimpin partai politik Nasakom.
Penilaian terhadap pelaksanaan Demokrasi Terpimpin datang pertama kali dari
Moh. Hatta, melalui tulisannya dalam majalah Islam "Panji Masyarakat"
pada tahun 1960 yang berjudul "Demokrasi Kita". hatta mengungkapkan
kritiknya kepada tindakan- tindakan presiden, tugas DPR sampai pada pengamatan
adanya "Krisis Demokrasi", yaitu sebagai demokrasi yang tidak kenal
batas kemerdekaan, lupa syarat-syarat hidupnya, dan melulu anarki lambat laun
akan digantikan oleh diktator.
Rangkuman
Dekrit
Presiden Republik Indonesia mempunyai berimplikasi luas pada perubahan
sistem ketatanegaraan dan
peta politik Indonesia.
Pertama, tindakan tersebut
mengakhiri tugas kabinet, parlemen, dan periode sistem parlementer itu sendiri.
Kedua, berakhirnya periode parlementer tersebut sekaligus mengakibatkan
berakhirnya pula periode pemerintahan oleh partai politik. Peranan parlemen
perlahan beralih ketangan Presiden
Sukarno. Melalui konsep demokrasi terpimpinnya ia mencela demokrasi barat yang
liberalistik yang menyebabkan ketidak stabilan politik dan tidak sesuai dengan
kepribadian bangsa. Selain itu Sukarno ingin mengembalikan kewenangannya
sebagai Presiden (dalam sistem presidensil) yang tak didapati dalam masa
demokrasi parlementer.
Dalam
pidatonya pada peringatan hari kemerdekaan 17 Agustus 1959, Sukarno
menguaraikan ideologi demokrasi terpimpin, yang beberapa bulan kemudian
dinamakan Manipol (Manifestasi Politik) yang isinya berintikan USDEK
(Undang-Undang Dasar 1945, Sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin,
Ekonomi Terpimpin dan Kepribadian
Indonesia). Manipol-USDEK adalah doktrin resmi yang dicetuskan oleh Sukarno
sebagai suatu konsep politik yang harus diterima dan dijalankan dalam setiap
aktifitas berbangsa dan bernegara. Sebagai konsekuensi dari kebijakan tersebut,
maka MPRS yang sudah tunduk pada Sukarno menetapkan Manipol USDEK sebagai GBHN
dan wajib diperkenalkan disegala tingkat pendidikan dan pemerintahan, selain
itu pers pun diharuskan mendukungnya.
Sebenarnya
hanya disebagian masyarakat politik saja Manipol-USDEK diterima sepenuh hati,
sedangkan disebagian yang lain menaruh kecurigaan dan kekhawatiran.
Manipol-USDEK itu sendiri tidaklah begitu jelas. Selain itu, bukan pula suatu
upaya untuk menyelaraskan semua pola penting dari orientasi politik yang ada di
Indonesia.
Ideologi
negara apapun belum mampu menjembatani perbedaan perbedaan besar orientasi
politik kutub aristokratis Jawa dan kutub kewiraswastaan Islam. Pada
pelaksanaannya, Manipol-USDEK tidak mampu mengatasi permasalahan tersebut.
Jadi, banyak kalangan Islam yang kuat keyakinannya, khususnya dari suku bukan
Jawa, melihat rumusan baru itu sebagai pemikiran yang asing. Karena itulah maka
pelaksanaan manipol Usdek dapat disimpulkan dilakukan dengan paksaan.
Pandangan negatif Soekarno terhadap sistem liberal pada akhirnya berpengaruh terhadap kehidupan partai politik di Indonesia. Partai politik dianggap sebagai sebuah penyakit yang lebih parah daripada perasaan kesukuan dan kedaerahan. Penyakit inilah yang menyebabkan tidak adanya satu kesatuan dalam membangun Indonesia. Partai-partai yang ada pada waktu itu berjumlah sebanyak 40 partai dan ditekan oleh Soekarno untuk dibubarkan. Namun demikian, Demokrasi Terpimpin masih menyisakan sejumlah partai untuk berkembang. Hal ini dilakukan dengan pertimbangan Soekarno akan keseimbangan kekuatan yang labil dengan kalangan militer. Beberapa partai dapat dimanfaatkan oleh Soekarno untuk dijadikan sebagai penyeimbang.
@Nn,S.Pd 2021
UJI
DIRI :
- Jelaskan Latarbelakang lahirnya
Demokasi Terpimpin ?
- Sebutkan
isi Dekrit Presiden 5 Juli 1959 ?
- Sebutkan beberapa penyimpangan
dalam pelaksanaan Demokasi Tepimpin terhadap UUD 1945 ?
- Bagaimanakah penilaian Moh. Hatta terhadap pelaksanaan
Demokrasi Terpimpin?
- Jelaskan sisi positif dan sisi
negatif terhadap pelaksanaan Demokrasi Terpimpin ?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar