Teori Gujarat, Persia, Arab asal-usul dan argumennya
Pada suatu sore
yang cerah di pesisir Lamongan, seorang pemuda bernama Yusuf duduk bersimpuh di
depan makam Sunan Drajat. Ia baru saja menyelesaikan perjalanan kecilnya,
menyusuri jejak para wali yang pernah menanamkan ajaran Islam di tanah Jawa.
Dengan membawa catatan kecil, ia mencatat satu hal yang mengusik pikirannya:
bagaimana sebenarnya Islam pertama kali datang ke Nusantara? Siapa yang
membawanya? Dari mana asalnya?
Pertanyaan-pertanyaan
itu tidak hanya menghampiri Yusuf, tetapi juga menjadi perdebatan panjang di
kalangan sejarawan dan akademisi. Islam memang telah menjadi bagian penting
dari identitas bangsa Indonesia, namun kisah tentang bagaimana ajaran ini masuk
dan menyebar ke Nusantara tidaklah tunggal. Para ahli menyusun sejumlah teori
besar yang mencoba menjawab misteri ini, di antaranya Teori
Gujarat, Teori Persia, dan Teori
Arab. Masing-masing teori lahir dari pembacaan terhadap jejak
sejarah, bukti arkeologis, serta data sastra dan epigrafi yang ditemukan di
berbagai tempat di Indonesia.
Teori Gujarat: Islam dari India Barat
Teori pertama yang
mendapat dukungan luas dari kalangan sejarawan Barat adalah Teori
Gujarat. Tokoh utama di balik teori ini adalah Snouck
Hurgronje, seorang orientalis Belanda yang berpengaruh pada
akhir abad ke-19. Menurut teori ini, Islam masuk ke Nusantara melalui pedagang
Muslim dari wilayah Gujarat, India Barat, sekitar abad ke-13 hingga 14 Masehi.
Argumentasi utama
teori ini bertumpu pada catatan sejarah dan artefak batu nisan, salah satunya
adalah batu nisan Sultan Malik al-Saleh
dari Samudra Pasai (1297 M), yang menunjukkan gaya khas India. Gaya seni
ukirannya identik dengan batu nisan yang ditemukan di Gujarat. Selain itu,
menurut Hurgronje dan sejarawan seperti J.P. Moquette, kuatnya hubungan dagang
antara pelabuhan-pelabuhan di Nusantara dan India saat itu membuat Gujarat
menjadi perantara logis bagi masuknya Islam.
Namun, teori ini
tidak lepas dari kritik. Beberapa ahli menyatakan bahwa Gujarat pada masa itu
sendiri masih dipengaruhi Islam dari Persia dan Arab, sehingga bisa jadi
Gujarat hanyalah titik transit, bukan sumber utama penyebaran agama Islam di
Nusantara.
Teori
Persia: Jejak Syiah dan Tasawuf
Sementara itu, Teori
Persia menawarkan perspektif berbeda. Tokoh pendukungnya
seperti Hussein Djajadiningrat
melihat adanya pengaruh budaya dan agama Persia yang kuat dalam Islamisasi di
Nusantara, terutama dalam tradisi sufistik dan kesenian. Bukti-bukti yang
sering dikutip meliputi penggunaan aksara Jawi dan Pegon
yang dipengaruhi Persia, serta tradisi peringatan Asyura,
yaitu hari kesepuluh bulan Muharram, yang dikenal dalam kalangan Syiah.
Di beberapa daerah
seperti Aceh dan Minangkabau, unsur-unsur budaya dan keagamaan yang mirip
dengan praktik Persia memang cukup kentara. Misalnya, penggunaan istilah-istilah
seperti “imam”, “husein”,
dan bentuk puisi mistik seperti syair dan hikayat
mengindikasikan adanya kontak dengan Islam bergaya Persia, khususnya dalam
cabang tasawuf.
Namun demikian,
teori ini juga menghadapi kendala. Tidak banyak catatan primer yang secara
eksplisit menyebutkan peran Persia dalam penyebaran Islam awal di Nusantara.
Oleh karena itu, meski pengaruh Persia tidak dapat disangkal dalam perkembangan
Islam lokal, posisi Persia sebagai sumber utama masih dipertanyakan.
Teori
Arab: Langsung dari Tanah Suci
Berbeda dari kedua
teori sebelumnya, Teori Arab menyatakan
bahwa Islam datang langsung dari Arab (Hijaz atau
Hadramaut), tanpa perantara India atau Persia. Teori ini
mendapatkan banyak dukungan dari para sejarawan Muslim Indonesia, seperti Hamka
dan Azyumardi Azra. Mereka berargumen bahwa sejak
abad ke-7 M, sudah terdapat hubungan dagang yang intens antara
pelabuhan-pelabuhan di Nusantara dengan wilayah Arab melalui jalur pelayaran
Asia Tenggara.
Salah satu bukti
pendukung teori ini adalah catatan perjalanan dari
para pedagang dan penjelajah Muslim, seperti dalam laporan dari Dinasti Tang
(abad ke-7 M) yang menyebut adanya pemukiman Arab di wilayah Sriwijaya. Selain
itu, banyaknya ulama asal Hadramaut yang menetap dan menikah di Nusantara juga
memperkuat hipotesis ini. Salah satu tokoh besar yang diyakini keturunan
Hadramaut adalah Sunan Gresik (Maulana Malik Ibrahim),
penyebar Islam awal di Jawa.
Lebih jauh lagi,
teori ini juga didukung oleh pendekatan sufistik yang berkembang dalam Islam
Nusantara, yang memiliki akar kuat dalam tradisi tarekat Arab. Azyumardi Azra
dalam karyanya Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan
Nusantara menunjukkan bahwa ulama Nusantara sejak abad ke-17 aktif
menuntut ilmu di Mekah dan Madinah, menciptakan jaringan keilmuan yang
menghubungkan pusat-pusat studi Islam di dunia Islam dengan Nusantara.
Ketegangan
dan Keterkaitan Antar Teori
Meski ketiga teori
ini tampak bersaing, sesungguhnya mereka bisa saling melengkapi daripada saling
meniadakan. Kemungkinan besar, Islam masuk ke
Nusantara melalui jalur yang kompleks dan berlapis, melibatkan
peran para pedagang, ulama, dan sufi dari berbagai belahan dunia Islam. Tidak
ada satu teori pun yang bisa mengklaim sebagai jawaban tunggal atas proses
panjang ini.
Dalam dunia
perdagangan abad pertengahan, pelabuhan-pelabuhan di Gujarat, Persia, dan Arab
saling terhubung dalam jaringan dagang maritim. Pedagang Arab mungkin singgah
di Gujarat sebelum melanjutkan pelayaran ke Nusantara. Demikian pula, ulama
Persia bisa saja berdakwah bersama pedagang India. Dalam konteks ini, setiap
teori mencerminkan satu sisi dari mozaik sejarah Islamisasi di Indonesia.
Refleksi:
Mencari yang Esensial dari Sejarah
Di hadapan makam
Sunan Drajat, Yusuf menyadari bahwa lebih dari sekadar asal geografis, yang
paling penting dari proses masuknya Islam adalah bagaimana ajaran itu diterima,
diolah, dan dijadikan bagian dari jati diri masyarakat lokal.
Para wali dan ulama Nusantara tidak hanya menjadi penyampai ajaran, tetapi juga
pengolah nilai, pembangun jembatan budaya, dan penata harmoni sosial.
Melalui pendekatan
yang lembut, penuh kearifan lokal, dan akomodatif terhadap budaya yang ada,
Islam berkembang bukan sebagai kekuatan penakluk, melainkan sebagai jalan hidup
yang merangkul. Proses Islamisasi di Nusantara bukanlah proses Arabisasi,
melainkan transformasi nilai yang
menyesuaikan dengan konteks Indonesia.
Nn.